Jam digital dalam handphone Seyda menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul 22.37. Seyda yang baru saja terbangun dari tidurnya dengan cepat membuka tasnya dan menarik buku geografi. Ia langsung mengerjakan tugas yang baru diberikan oleh sang guru tadi siang.
Baru lima menit mengerjakan tugasnya, Seyda kembali diterjang rasa kantuk. Kepalanya mulai berat, bahkan kepalanya dalam dua detik sekali bisa menunduk–bangkit–menunduk lagi–bangkit lagi. Sambil menepuk-nepuk kepalanya, Seyda berkata, “Gak, gak, please ini tugas besok pagi dikumpulin!”
Seyda yang tiba-tiba merasa haus pun memilih untuk ke dapur. Setelah meneguk segelas air, Seyda mencuci mukanya di wastafel. Di saat air baru saja mengenai wajahnya, ia mendengar suara ketukan pintu. Seyda yang panik berlari ke kamar orang tuanya dan membangunkan Mahesa. Mahesa yang masih setengah sadar lantas terburu-buru ke ruang tamu dan membuka pintu.
“Ada apa–”
“Apakah orang atas nama Mahesa Gunawan Doin ada di rumah?”
“Saya sendiri, Pak,” ucap Mahesa dengan lugas.
Bapak tersebut pun menunjukkan surat perintah penangkapan pada Mahesa. “Anda ditangkap karena melakukan pembunuhan terhadap seorang gadis.”
“Maksudnya apa, Pak?” Seyda mendorong pintu agar ia bisa berbicara dengan bapak tersebut. “Pembunuhan? Bapak saya bukan orang kaya gitu, Pak!”
“Itu bukan saya, Pak!” Mahesa berusaha membela diri dengan suara setenang mungkin.
Bapak-bapak dengan rambut gondrong berkeriting yang panjangnya sebahu itu mengeluarkan borgol dari dalam sakunya. “Anda berhak memanggil penga–”
Panik karena tangannya akan diborgol, Mahesa menyembunyikan tangannya dan berteriak, “Saya tidak membunuh orang, Pak!”. Teriakan Mahesa membuat istri dan putri kecilnya terkejut. Revi dan ibunya pun segera menghampiri kegaduhan di ruangan paling depan di rumah tersebut. Bapak polisi pun berusaha meraih tangan Mahesa sambil menghela napas. “Bapak kalau tidak membunuh–”
“Pak, papah saya gak mungkin membunuh seseorang, Pak!” tambah Seyda.
“Maksudnya, papah ngebunuh? Siapa yang papah bunuh?” tanya Revi.
“Gak, suami saya gak mungkin membunuh siapapun, Pak!” lanjut mama Seyda.
“Kalau bapak ini tidak membunuh, untuk apa bapak ini berteriak?!” jerit bapak tersebut yang kini telah berhasil memborgol kedua tangan Mahesa. Suasana seketika menjadi hening. Pak Polisi itu pun menatap kedua mata Mahesa dan berkata, “Kalau Bapak tidak membunuh, harusnya tidak perlu berteriak dan mencari keributan.” Polisi tersebut lantas menyuruh petugas lain membawa Mahesa ke dalam mobil polisi.
Sebelum sang polisi melangkah dari halaman rumah, Mama Seyda menarik tangan pak polisi dan berkata, “Pak, suami saya tidak mungkin membunuh siapapun! Tolong bebaskan dia, Pak!”
“Iya, Pak, papah saya gak mungkin membunuh!” ucap Seyda dengan mata berkaca-kaca.
“Begini, apakah ibu dan adek-adek ini tau bagaimana Bapak Mahesa saat sedang di luar?” Pertanyaan dari polisi membuat mereka bertiga termenung. Betul, mereka bertiga tak pernah tahu bagaimana Mahesa ketika sedang bekerja.
“Ta-tapi pak, papah–”
“Di rumah bisa saja Bapak Mahesa terlihat baik, tapi ketika di luar, bisa saja berbeda. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kecuali novel fantasi.” Bapak polisi itu pun menghempaskan genggaman Mama Seyda dan masuk ke dalam mobil. Revi yang belum sempat menyelesaikan ucapannya pun berlari keluar dan berusaha mengejar mobil polisi yang perlahan membawa Sang Papa pergi. Ia tak peduli akan perilakunya yang mungkin saja akan viral di media sosial akibat ada seorang reporter yang sedari tadi memotret rumah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] 18 At 10
Teen FictionFOLLOW DULU KALAU MAU BACA‼️‼️ Jangan lupa vote dan komen ya👋🤩 Setahun telah berlalu sejak gadis manis itu melepas masa Sweet Seventeennya. Sebuah masa di mana seumuran gadis cantik itu telah memasuki jenjang pendidikan tinggi yang spesial. Namu...