24| Kejadian Sebenarnya

11 1 0
                                    

"Jadi Lo gak naik tiga kali?" tanya Arfin sekali lagi.

"Iya, ih!" Seyda yang kesal pun memukul lengan atas Arfin sedikit keras.

"Kelas satu bingung, kelas enem gak ngerti soal UN, kelas tujuh shock." Arfin kembali menjabarkan alasan Seyda masih berada di tingkat SMA hingga saat ini.

"Ini rahasia ya, jangan ada yang tau, lho!" pinta Seyda. Arfin dengan lembut membelai rambut Seyda sambil berkata, "Iya gak akan ada yang tahu, kak!"

"Kak?"

"Kan Lo lebih tua dari gue!"

"Gak! Jangan manggil gue yang aneh-aneh!"

"Itu gak aneh!" bantah Arfin yang membuat Seyda terdiam. Itu memang tidak aneh, tapi ia masih ingin menjaga nama baik keluarga dan tidak mau menarik perhatian orang banyak.

"Maaf deh, gue cuma bercanda itu!" Arfin memecah keheningan yang ada di antara mereka. Seyda mengangguk lemas dan kembali memperingati Arfin agar tidak menyebarkan berita tersebut pada orang lain. Arfin pun mengangguk dan mereka pun kembali ke bus.

Di sisi lain, Cantika dan Laila terkejut mendengar penjelasan Seyda tadi. Ia tak menyangka bahwa perempuan yang terkenal bodoh itu memang bodoh sejak lahir.

"Ka, kita sebarin aja identitas dia entar! Kayanya seru gak sih kalau si Arfin di tuduh kalau dia yang nyebarin? Jadi gue ada kesempatan deketin dia!" usul Laila.

Usulan tersebut mendapat anggukan dari Cantika. "Lihat aja, orang di sekitar kakak-kakak yang nuduh kita itu bakal menderita!" ancam Cantika.

***

Di siang hari yang indah, Mahesa sedang merebahkan diri di kamarnya. Hari ini ia izin tidak masuk karena merasa tidak enak badan. Tiba-tiba, ia teringat akan perhiasan dan sejumlah uang yang ia dapatkan beberapa bulan yang lalu.

Sebuah liontin emas dengan motif hati berwarna biru di tengahnya kini berada di tangannya. Mahesa mengamati liontin tersebut dan membayangkan jika istrinya memakainya saat ini. "Kayanya cantik deh kalau kamu pake ini, sayang," ucapnya sambil melihat foto istrinya yang terdapat di meja kecil dekat tempat tidurnya.

Mahesa lalu mengalihkan pandangannya ke cincin-cincin yang ada di kotak hati berwarna merah. Cincin-cincin berwarna emas itu membuatnya lagi-lagi tersenyum sendiri. "Sayang banget kamu belum sempet pake, mahal lho cincin-cincin ini!" tutur Mahesa.

Sebuah panggilan masuk ke hp Mahesa. Ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut. "Halo?"

"Lu gapapa?"

"Gapapa, ini cuma gak enak badan doang,"

"Makanya gak usah lakuin yang aneh-aneh! Gini 'kan akibatnya!"

Mahesa tertawa kecil mendengar ucapan sahabatnya itu. "Eh iya, makasih ya udah bantu gue bebas dari tuntutan si Irwan!"

"Haha, udah lama juga kali. Tenang aja, santai."

"Enggak dong, soalnya gara-gara Lo gue bebas!"

"Hahahaha, iya dah iya."

"Oh iya, ini uang lima puluh juta kemanain? Jujur gue gak kuat kalau punya uang sebenyak ini, mana diumpetin dari anak-anak!"

"Ohh itu. Entar aja kita bagi, pas Lo udah sembuh. Oke?"

"Oke, oke!" Mahesa tiba-tiba merasa pusing. "Dah dulu yak, pusing nih gua!"

"Oke, oke, istirahat yang cukup, Sa!"

"Iya, makasih." Mahesa pun menutup telepon dan kembali merebahkan diri di kasurnya. Tak lama, ia pun tertidur.

[TAMAT] 18 At 10 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang