Ruangan tempat Irwan berada diketuk oleh Diana. Setelah dipersilakan masuk, Diana dengan lantang mengatakan bahwa ia ingin penjagaannya tidak seketat kemarin-kemarin.
"Aku tuh ingin kaya dulu lagi, Pah! Capek aku kemana-mana dijagain, I'm not free!" tambah Diana.
"Kamu tau ‘kan kamu lagi diancam?" tanya Irwan sambil terus melihat ke arah surat kerja sama.
"I still alive!"
"Now!" Irwan membantingkan papan dada yang sedang digenggamannya ke meja. "Sekarang kamu masih ada di sini, tapi kita gak akan pernah tau apa yang terjadi nanti, Dian!"
"Paaah!" Diana menggoyangkan tubuhnya sembari menginjak-injakkan kakinya ke lantai. Dengan nada manja, ia mendekati papanya dan kembali berbicara, “kalau aku gak bebas, entar aku dijauhin sama temen-temen aku, emang papah mau aku gak punya temen?”
“Hah, emangnya temen-temen kamu itu peduli sama nyawa kamu?”
“Peduli! Suer!” tegas Diana. “Paah, pleasee, aku bukan siapa-siapa kalau tanpa mereka!”
"Papa masih ragu, Dian."
"Pah, aku udah besar, fifteen! Kenapa masih ragu coba?" bujuk Dian untuk kesekian kalinya.
Setelah berpikir cukup lama, Irwan pun luluh dan memutuskan untuk membebaskan Diana dari "penjara sementara" yang dibuat Irwan, meski dalam hatinya ada rasa khawatir yang sangat dalam jika Diana dibebaskan begitu saja.
***
Pembagian rapor di hari ini membuat Seyda kembali mengingat momen sedih saat pembagian rapor akhir tahun kemarin. Angka '16' yang muncul di pinggir kata ranking membuatnya tak kuasa menahan tangis karena peringkatnya yang belum berubah.
"Ranking berapa lu?" Arfin berusaha melihat rapor Seyda.
Seyda dengan cepat menutup map berwarna kuning yang terdapat nama lengkapnya di bagian depan dan menatap tajam Arfin. Seyda kemudian berkata, "Bukan urusan Lo gue ranking berapa."
"Ya elah, lu tau sendiri gue ranking berapa," ucap Arfin.
"Bangga sama rankingnya lu?"
"Mana ada kata bangga,"
"Terus ngapain dengan nada bangga lu ngomong tentang ranking lu? Kalau malu harusnya diem dong!” cecer Seyda.
“Yahaha, malu segala! Ya paling kena amuk ortu, buat apa malu? Lagian nih yah, emang pada ambis semua nih anak-anak kelas, jadi ya wajar aja kalau ranking kita rendah!” tutur Arfin.
“Tau ah, jangan ganggu gue! Bete tau gak dari dulu gini terus nilai gue!” Seyda memalingkan mukanya dan perlahan-lahan air matanya turun membasahi pipinya.
Arfin kehilangan kata-kata dan berujung menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Meskipun mereka sudah akur, tapi ia tetap susah mengajak Seyda bercanda.
Tak selang sepuluh detik, Arfin langsung berbicara mengenai matematika yang semakin sulit untuk dipelajari. Seyda berusaha tidak mempedulikan Arfin dengan fokus melihat langit berwarna biru muda dengan awan-awan putih menghiasi lukisan Sang Maha Kuasa sambil sesekali mengusap air matanya.
Melihat dirinya yang tak memiliki lawan bicara, Arfin langsung menghentikan pembicaraannya dan berusaha meraih perhatian Seyda dengan mengucapkan, "Mau belajar bareng gak?"
Benar saja, Seyda langsung menatap Arfin dengan mata sembab dan pipi yang basah. "Belajar bareng? Kita? Emang bisa?"
"Coba aja dulu, kenapa enggak? Lagian kita kan gak sebodoh itu, cuma lagi-lagi, emang temen-temen kita aja pinternya pada di atas rata-rata!" jelas Arfin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] 18 At 10
Teen FictionFOLLOW DULU KALAU MAU BACA‼️‼️ Jangan lupa vote dan komen ya👋🤩 Setahun telah berlalu sejak gadis manis itu melepas masa Sweet Seventeennya. Sebuah masa di mana seumuran gadis cantik itu telah memasuki jenjang pendidikan tinggi yang spesial. Namu...