Cinta dan Benci

285 58 3
                                    

Setiap kali melihat wajah Kaivan, perasaan benci dan cinta melebur menjadi satu. Aku bahkan tidak tahu manakah yang lebih besar, benci atau cinta? Betapa ajaib hati manusia yang mampu menjadi wadah untuk dua rasa yang kontradiktif itu.

Setiap kali melihat Kaivan bersama Meyra, naluri membunuhku muncul. Ingin kubunuh mereka berdua atau kubunuh saja diriku.

"Itu pacar Kaivan. Meyra." Hara berbisik padaku. Kami sudah selesai minum kopi dan sedang berjalan kembali menuju ke gedung kantor saat seorang wanita muda berpakaian formal menghampiri Kaivan, membuat langkah Kai terhenti. Aku, Hara dan Adri memilih melanjutkan langkah. Aku berbalik menatap Kaivan sejenak yang ajaibnya sedang menatapku. Mata kami bertemu beberapa detik sebelum akhirnya aku memutuskan untuk berpaling.

Apakah kamu sedang bersama Meyra saat aku mengantar jasad Bapak ke kuburan? Apakah karena Meyra kamu tidak bisa datang, Kai?

"Aku sudah pernah bilang kan kalau Kaivan sudah punya pacar. Nah, itu dia orangnya. banker juga. Kerja di bank tetangga." Hara menambahkan penjelasannya tentang Meyra yang, demi Tuhan, sebenarnya tidak perlu dia lakukan karena aku tahu dengan baik siapa itu Meyra dan apa yang telah dia lakukan pada pernikahan kami. Pernikahanku dan Kaivan di masa depan.

Ha ... ha ... ha ... aku menertawai diriku sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku membenci Meyra dengan alasan bahwa dia telah mengacaukan pernikahanku dan Kaivan di masa depan? Pernikahan yang bahkan belum terjadi. Siapa yang akan percaya omong kosong ini? seperti halnya Hara yang menatapku tak percaya tiap kali aku mengatakan bahwa aku datang dari tahun 2020. Bahkan saat kami ngopi di kantin tadi dan aku mengetahui dengan baik apa minuman favorit mereka, Hara mungkin lebih mempercayai jawabanku yang 'aku cuma tebak saja kok minuman kesukaan kalian. Apa tebakanku benar?' Hara lebih mempercayai versi 'semua hanya kebetulan' daripada cerita tentang perjalanan lintas waktu yang aku alami. Lagi pula bagaimana bisa aku menjelaskannya sedangkan ilmu pengetahuan saat ini pun belum ada yang sanggup memecahkan misteri itu?

"Aku rasa kamu itu indigo." Hara menyelutuk beberapa saat sebelum pintu lift yang membawa kami bertiga – minus Kaivan – ke lantai 6 terbuka.

"Apa!?"

"Kamu bisa lihat hantu – hantu gitu, nggak sih, Git?"

"Hantu?" Aku menggeleng. "Aku tidak pernah lihat hantu."

"Berarti kamu tuh tipe indigo yang bisa menerawang masa depan."

Aku tidak tahu apa yang sedang Hara bicarakan dan yang pasti aku sama sekali tidak punya pengetahuan tentang jenis – jenis indigo.

"Ngomong apa sih, kamu, Ra?"

Hara berbalik menatapku. "Kamu yang ngomong apa. Sejak datang kemari kamu bilang kalau kamu datang dari masa depan. Kamu tau soal hal – hal kecil tentang kantor ini. Kamu tau tentang Ferdi. Kamu tau tentang minuman yang biasa aku, Kaivan dan Adri pesan. Atau jangan – jangan kamu stalker? Kamu sudah menyelidiki pegawai – pegawai kantor ini sebelum datang, ya?"

"Kurang kerjaan stalking – in kalian!" bantahku.

"Aku tidak keberatan kamu stalking," Adri menyelutuk. Aku hampir lupa Adri masih ada di belakangku. Kami baru saja masuk ke dalam ruangan unit SKM. Sebentar lagi meeting pipeline akan segera dimulai.

Aku tertawa menanggapi gurauan Adri. Apakah dia mendengar pembicaraanku dan Hara?

"Aku yang keberatan." Kaivan tiba – tiba muncul. Jantungku sontak langsung berdegup tak terkendali. "Kamu sudah punya RM. Tuh, si Hara Lavi. Jangan coba – coba merebut RM – ku, ya."

Kaivan menatapku sambil tersenyum lebar. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celana. Setiap kali melihat wajah Kaivan, perasaan benci dan cinta melebur menjadi satu. Kaivan menyukai hampir seluruh jenis olahraga dan aktivitas outdoor. Saat kami berhubungan dekat, waktu – waktu sebelum menikah, Kaivan sering membawaku naik motor dan mengelilingi kota. Siang hari, malam hari. Kapan pun ketika kami sama – sama punya waktu senggang. Sambil menyetir motornya, dia akan bercerita banyak hal. Aku suka menatap wajahnya yang ceria, lepas, bebas. Aku suka mendengarnya bercerita tentang apa pun.

Kadang – kadang kami menghabiskan waktu di pantai. Duduk tanpa alas. Merasakan butiran – butiran pasir di kaki kami. Kaivan seteduh laut musim panas. Rambutnya serupa gelombang tenang yang meluruh di bibir pantai. Ciuman pertama kami terasa asin seperti air laut.

Kaivan mengakhiri hubungannya dengan Meyra dan memacariku. Awal hubungan kami terasa membahagiakan dan meletup – letup seperti kembang api. Aku tidak tahu kapan persisnya semua bermula. Aku tidak tahu kapan persisnya cinta dan benci melebur menciptakan perpaduan rasa yang tidak menyenangkan setiap kali aku melihat wajah Kaivan.

"Ayo, teman – teman. Meeting sudah mau dimulai." Suara Bu Ratih membuat aku, Hara, Kai dan Adri memilih untuk bergegas kembali ke meja masing – masing, menyiapkan bahan untuk mempresentasikan rencana kerja satu bulan ke depan.

***

Garpu di tangan Hara terlepas dan membentur piring berisi spaghetti yang belum ada setengahnya tersantap. Bunyi perpaduan stainless steel dan keramik menimbulkan suara yang cukup untuk membuat orang – orang yang duduk di meja samping kiri kami menoleh.

"Fix sih ini kamu kayaknya kebanyakan baca novel atau nonton film."

Hara menyeretku naik ke mobilnya saat jam pulang kantor tadi. "Temani aku makan malam, yuk." Begitu katanya. Tetapi begitu sampai di restoran Italia, setelah dia memesan spaghetti dan aku memesan fettucine, dia malah menginterogasiku dengan banyak pertanyaan.

"Coba kamu bilang jujur, darimana kamu tau hal – hal seperti nanti malam turun hujan, Ferdi, kredit Bapak Idrus akan bermasalah, minuman kesukaanku. Dari mana kamu tau semua itu?"

Lalu seperti kaset rusak, aku mengulang – ulangi hal yang sama kepada Hara. Tentang aku yang datang dari tahun 2020. Tentang hal – hal di tahun 2017 yang sudah aku alami. Tentang sebuah sinar terang yang menerpaku saat aku melihat bintang jantuh – itu komet Neowise – di halaman belakang rumah Bapak. Tentang pernikahanku dan Kai yang di ujung tanduk. Tentang Kai yang tidak muncul di saat pemakaman Bapak. Kali ini aku tambahkan kalimat dengan wajah memelas, "Tolonglah percaya padaku kali ini saja, Ra. Aku tidak tau lagi harus berharap pada siapa untuk percaya, selain kamu."

Saat itulah garpu di tangan Hara terlepas sehingga membuat seorang pelayan tergopoh – gopoh datang menghampiri kami dan menawarkan garpu baru kepada Hara.

"Kamu menikah dengan Kaivan dan aku menikah dengan Ferdi?" Hara mengulangi ucapanku. Keterkejutan dan keterpesonaan atau entah apalah itu yang tergambar di wajahnya, masih setia bertengger di sana. Hara seperti seorang gadis kecil yang sedang mendengar cerita tentang peri hutan. Dia tidak percaya tetapi dia senang mendengarnya. Dia tidak percaya peri hutan itu ada tetapi jauh di dalam hati kecilnya berharap dapat bertemu dengan peri hutan suatu saat nanti.

"Ya. Kamu dan Ferdi akan punya anak laki – laki yang kalian beri nama Kenzou," jawabku.

"Kalau kamu dan Kaivan?"

"Aku dan Kaivan apa?"

"Kalian punya anak juga, tidak?" pertanyaan Hara sungguh di luar dugaanku. Rasa sakit tiba – tiba muncul entah dari mana dan menjalari sekujur tubuhku.

Aku terdiam cukup lama sebelum mengangguk pelan. "Ya, aku dan Kai juga punya anak laki – laki yang kami beri nama Bintang."

Mulut Hara kembali melongo dan dia hampir saja menjatuhkan garpu barunya.[]


***

Terimakasih sudah membaca hingga di bab ini. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar. XOXOXO

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang