Salah satu hal yang paling tidak aku sukai adalah berbasa – basi, apalagi dengan orang yang baru pertama kali aku jumpai. Eh, tapi itu tidak sepenuhnya tepat untuk saat ini. Sebelum kembali ke tahun 2017, aku sudah sangat sering berinteraksi dengan pria tambun yang terlalu banyak tertawa itu, Idrus Hamid. Kredit yang kami berikan tidak dia gunakan sebagai mana mestinya. Proyek yang dia kerjakan mangkrak, lalu fasilitas kredit dari kami kebanyakan dia gunakan untuk kebutuhan konsumtif. Aku dan Kaivan setiap bulan harus mati – matian menagih Bapak Idrus agar mau membayar kewajiban tepat waktu.
Aku paling tidak suka berbasa – basi apalagi dengan si Idrus sialan ini, tetapi Kaivan sangat suka dan lihai memerankan peran tersebut. Dia adalah salah satu SRM yang paling disukai tidak hanya oleh pemimpin, tetapi juga oleh debitur. Tidak ada permasalahan nasabah yang terasa pelik bagi Kaivan. Jika aku sudah panik mendapati jalan buntu atas suatu kasus debitur, maka tanggapan Kaivan hanya, 'Tenang saja Gita. Jangan panik. Aku nyebat dulu ya sebentar di luar.'
Ya, ketika aku panik, dia malah mengatakan padaku untuk tenang dan undur diri merokok sejenak. Awal – awal bekerja satu tim dengan Kaivan aku sering merasa kesal, tetapi seiring berjalannya waktu aku tahu bahwa ketika sedang merokok, Kaivan akan berusaha memikirkan semua solusi atas masalah yang sedang kami hadapi. Sekembalinya dari merokok, dia pasti datang membawa solusi itu.
Namun demikian, berbungkus – bungkus rokok ternyata tidak sanggup menyelesaikan masalah di dalam pernikahan kami. Setelah kepergian Bintang, Kaivan kembali merokok di dalam rumah. Abu rokonya berhamburan di hampir semua permukaan datar benda – benda dalam rumah kami. Di ruang tamu, di ruang televisi, di meja makan. Padahal dia sudah berjanji untuk mulai mengurangi rokok ketika Bintang lahir. Dia kembali kepada kebiasaann buruknya sebagai pereda rasa sakit yang tengah dia tanggung. Aku berpikir seperti itu dan aku berusaha memakluminya. Aku tidak lagi mengomentari kebiasaan merokok Kaivan. Aku tidak lagi mengomentari hampir semua yang dia lakukan.
"Bisa seperti itu kan, Git?" Suara Kaivan membuatku tersentak dari lamunan. Kami ada di meja makan salah satu restoran dengan Pak Idrus yang tak berhenti menyuapkan udang goreng asam manis ke dalam mulutnya.
"Hah? Kenapa?" Aku sedikit gelagapan karena ketahuan tidak menyimak pembicaraan Kaivan dan Pak Idrus.
"Aku bilang, minggu depan aku akan on the spot untuk lihat LCT yang akan Pak Idrus beli, sementara kamu mengerjalan proposal pengajuan kreditnya." Kaivan menyahut.
"Ibu Sagita ikut sajalah ke Kalimantan. Sekalian jalan – jalan. Ha ... ha ... ha. Belum pernah ke Kalimantan, kan?"
Aku tersenyum masam sebagai reaksi atas ucapan Pak Idrus. Kalau tidak perlu ikut ke Kalimantan malah lebih bagus lagi. Semakin sedikit interaksiku dengan Kaivan semakin baik.
"Tapi Pak Idrus, apa laporan penjualan yang Bapak kasih ke saya sudah semuanya? Saya sudah coba hitung kasar, kalau penjualannya masih segitu, dengan penambahan faslitas kredit yang baru, maka kemungkinan Bapak tidak akan bisa bayar tagihan di tahun ke enam. Angsuran LCT-nya sudah saya bikin tiering dan mulai naik setelah tahun kelima nanti."
Sendok Pak Idrus tertahan di udara demi mendengar ucapanku. Sudah kubilang kan aku tidak suka basa – basi.
Namun di luar dugaan, Pak Idrus justru tertawa. "Ha ... ha ... ha ... atur sajalah, Bu Sagita. Nanti saya telepon Pak Sam."
"Masalahnya bukan itu, Pak Idrus ...." Aku baru saja hendak membantah ketika aku bisa merasakan tangan Kaivan menyentuh tanganku di bawah meja. Dan aku tahu itu adalah isyarat agar aku berhenti bicara. Sialan! Aku melakukan ini demi kita berdua, Kai! Kalau kamu bersikeras untuk tetap memberikan Pak Idrus tambahan kredit, maka dia hanya akan menyusahkanmu di kemudian hari. Menyusahkan kita.
"Nah, ini kebetulan Pak Sam telpon." Pak Idrus meraih ponsel yang tadi diletakkan di sisi piringnya, lalu dengan nada ramah yang terkesan berlebihan dia menjawab telepon itu. "Halo Pak Sam! Iya, iya. Ini Pak Kaivan dan Ibu Sagita lagi sama saya. Makan siang dulu, Pak, lalu setelah ini kami mau ke lokasi proyek. Aman sudah. Iya, Pak! Siap!"
"Kamu baik – baik saja? Sudah nggak mual lagi?" Kaivan bertanya padaku dengan nada pelan sementara Pak Idrus masih sibuk berbicara di telepon dengan Pak Sam. Bukan permbicaraan serius sepertinya karena dia terlalu sering tertawa.
Aku mengangguk dan menoleh ke arah Kaivan. "Kai, EBITDA di laporan keuangannya gak cukup! Sekarang sudah mepet. Gila aja kalau mau kasih tambahan kredit ke dia!"
Kaivan tersenyum mendengar bisikanku. Dia menatap ke dalam mataku dan berkata, "Tenang saja, Gita. Kita akan mendiskusikan ini sekembali dari melihat lokasi proyek, oke? Aku sudah memikirkan tentang ini dan aku sudah punya solusinya."
Demi ditatap demikian intens, tetapi juga terasa lembut oleh Kaivan, entah kenapa ada perasaan hangat yang menjalari hatiku. Tidak ada 'tenang saja, Gita' dalam setiap pertengkaran yang kami alami usai kepergian Bintang. Kaivan menyudutkanku, memojokkanku, menyalahkanku. Dia tidak bisa berdamai dengan duka dan akhirnya melampiaskan semua hal itu kepadaku. Padahal sebelum ini, Kaivan adalah seorang laki – laki berhati lembut. Ya, walau kadang – kadang dia sedikit keras kepala dan ambisius. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan. Apa yang menjadi targetnya harus terlaksana. Tetapi, dia tidak pernah berbicara dengan nada tinggi padaku, pada semua orang yang berinteraksi dengannya. Kaivan adalah pria yang menyenangkan. Semua orang menyukainya. Dia memiliki semcacam energi positif yang meluap – luap dan mampu menularimu dengan semangatnya itu. Tetapi setelah Bintang meninggal, aku nyaris tidak mengenali Kaivan lagi. Dia berubah. Dia seperti telah memindahkan tembok Berlin dan meletakkan tembok itu mengelilingi dirinya dari orang lain, dariku. Kaivan menjadi begitu asing bagiku.
Menyadari aku masih memandangi mata Kaivan meski dia sudah selesai berbicara seketika membuatku canggung. Aku segera mengalihkan tatapan ke tempat lain. Ke mana saja asal bukan ke arahnya. Kelebatan – kelebatan memori tentang pernikahanku dan Kaivan benar – benar membuat perasaanku kacau balau.
"Pak Sam bilang cepat – cepatlah bikin proposal kreditnya biar bisa segera diajukan." Rupanya Pak Idrus telah selesai berbicara di telepon. Dia kembali menyantap udang goreng asam manisnya.
"Pasti segera kami selesaikan, Pak." Kaivan yang menyahut. "Mungkin kita juga bisa segera ke lokasi proyek jalan sekarang?"
"Oh, iya. Iya. Tentu saja. Kalian sudah selesai makan, kan?"
"Sudah." Kaivan kembali menyahut sembari berdiri dari tempat duduknya. "Saya bayar dulu."
"Eh, sudah! Saya saja yang bayar!"
"Kali ini saya. Lain kali baru Bapak," sela Kaivan tanpa menghentikan langkah. Aku memperhatikan punggung lebar Kaivan. Dulu, aku suka memeluknya dari belakang. Membenamkan wajahku pada punggungnya lama – lama sembari menghidu aroma tubuh Kaivan yang bercampur wangi parfum lavender dan geranium kesukaannya. Dia akan berbalik dan balas memelukku.
"Kenapa, Sayang?"
"Nggak kenapa – kenapa. Cuma pengen peluk suami sendiri. Nggak boleh?"
"Boleh, dong! Mau pelukan sampai kapan? Sekalian lanjut di tempat tidur, yuk!"
"Ih, Kai. Sudah jam tujuh. Nanti kita terlambat."
"Lah, kamu yang mulai duluan. Nggak usah masuk kerja hari ini."
"Ah, jangan gitu. Aku ada janji ketemu debitur!"
Kami pernah punya momen seperti itu setiap pagi, tetapi rasanya sudah lama sekali berlalu.[]
***
Kalau bab ini terasa sedih setelah dibaca, saya mintaa maaf karena telah membuat Selasa kalian menjadi kelabu (jangan lupa baca sambil putar videonya. heheh)
Terimakasih telah menjelajahi kehidupan Sagita - Kaivan bersama saya. Love yaaa...
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...