Adri bilang, aku harus membiasakan diri berkata 'ya' untuk setiap hal yang dia tawarkan. Termasuk 'ya' atas ajakannya mampir ke sebuah kafe seusai jam kantor hari ini.
"Sudah pernah kemari?"
Aku menggeleng. 'Ilegal Library' itu tulisan yang aku baca pada bagian luar kafe sebelum kami masuk ke dalamnya. Nama kafe yang unik. Baik di kehidupan sebelumnya atau pun saat ini, aku belum pernah mendengar nama tempat ini.
"Nama tempatnya unik," gumamku.
"Bagus?" timpal Adri. "Di dalam nanti semoga jauh lebih bagus lagi. Dan semoga kamu suka."
Dan benar saja. Rupanya Illegal Library adalah sebuah kafe yang mengusung konsep perpustakaan. Atau istilah kerennya 'book café'. Kafe di mana kamu tidak hanya bisa menikmati kopi, tetapi juga bisa membaca koleksi buku yang ada di sana. Namun di kafe ini suasananya benar – benar didesain seperti perpustakaan. Ada rak – rak buku yang juga berfungsi sebagai partisi antar meja. Ada tumpukan – tumpukan majalah. Ada potongan – potongan surat kabar yang terbingkai pada dinding kafe, membuat tempat ini lebih terlihat seperti perpustakaan di sebuah kampus dibandingkan tempat minum kopi.
"Gimana?" Adri memandangiku dengan senyuman di wajahnya. Mungkin itu sebuah senyum kemenangan karena berhasil meyakinkanku untuk kemari dan membuatku terpukau. "Hidden gem di kota ini."
"Ya." Aku sepakat. Tempat ini seperti harta karun tersembunyi di pinggiran kota. Bagaimana bisa aku belum pernah mendengar tempat ini sebelumnya?
"Ayo duduk di sana." Adri menunjuk sebuah meja dengan sepasang kursi kayu berhadapan. Aku mengikuti langkahnya menuju ke tempat itu.
"Apa kita boleh berisik di sini?" tanyaku random. Suara musik dari penyanyi entah siapa mengalun lembut mengisi molekul – molekul udara di dalam kafe.
Adri tertawa. "Ya. Tentu saja. Itulah kenapa namanya Illegal Library. Kita bisa melakukan hal – hal yang tidak bisa dilakukan di perpusatkaan sungguhan di sini."
"Uuuhh... Nice! Pemiliknya pasti orang yang sangat kreatif."
"Pemiliknya menyukai buku – buku," tambah Adri. "Mereka baru saja menambahkan koleksi buku fiksi ilmiah di rak belakang sana."
"Oh, ya?" Aku meletakkan tasku di atas meja dan duduk dengan nyaman pada kursi di hadapan Adri.
"Mau lihat?" tanya Adri. "Eh, tapi lebih baik kita pesan makanan dulu." Dia kemudian menggeser sebuah buku catatan di atas meja yang setelah lembarannya kubalik, ternyata berisi daftar menu.
"Sebenarnya aku tidak terlalu lapar," gumamku.
"Kalau begitu pesan minum dan cemilan saja."
Aku mengangguk setuju lalu tidak bisa menahan senyum ketika membaca nama – nama makanan dan minuman di dalam daftar menu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...