33 Hari

343 55 11
                                    


"Bapak tidak sedang bercanda, kan?" tanyaku. Semua penuturan Bapak terasa seperti cerita dongeng.

"Kekekmu dulu sering bercerita kepada Bapak betapa dia sangat menyesal karena tidak mengambil rute yang sama dengan teman-teman lainnya ketika menelusuri hutan saat bergerilya. Akibatnya dia tiba lebih lama di rumahnya. Saat dia tiba, rumahnya sudah dimasuki oleh penjajah. Istri dan anaknya dibunuh. Dia sangat menyesali keputusannya, dia berlari ke dalam hutan, jatuh tertidur dan ketika bangun, dia kembali ke masa sebelum istri dan anaknya terbunuh. Segala hal yang dia upayakan tidak akan bisa mengembalikan mereka. Hal itu terjadi berulang-ulang hingga akhirnya dia menyerah dan sadar bahwa itu semua sudah takdir. Dia melepaskan penyesalannya. Berpindah dari desa kelahirannya lalu bertemu dan menikah dengan wanita lain dan lahirlah Bapak." Bapak menatapku lekat-lekat seolah ingin meyakinkanku bahwa tidak ada hal yang dia ceritakan selain kebenaran.

Namun tetap saja cerita itu terdengar seperti sebuah hikayat turun-temurun yang dikisahkan dari mulut ke mulut sehingga keasliannya masih perlu dipertanyakan. Andaikan aku tidak mengalami perjalanan lintas waktu, mungkin kini aku sudah tertawa karena berpikir ini hanya lelucon belaka.

Bapak tersenyum. "Awal mendengar cerita Kakek, Bapak juga bereaksi seperti kamu, Git. Tidak percaya. Tetapi setelah mengalaminya sendiri, Bapak baru yakin kakekmu tidak sedang mengada-ngada. Sayangnya, ketika itu Kakek sudah meninggal sehingga Bapak tidak bisa meminta maaf karena pernah menganggap dia hanya membual saja."

"Jadi, benar Bapak juga pernah kembali ke masa lalu?" tanyaku pelan. Belum bisa mencerna dengan baik apa sesungguhnya yang sedang aku dengar ini.

"Bapak pergi berkemah bersama teman-teman. Nenek sempat melarang Bapak pergi, tapi Bapak bersikeras. Acaranya camping-nya cuma dua hari. Bapak akan pulang begitu acara selesai. Tetapi ketika Bapak pulang, Nenek sudah meninggal sehari sebelumnya. Jenazah nenekmu sudah dimakamkan. Para kerabat tidak tau bagaimana cara menghubungi Bapak. Nenek kecelakaan ditabrak mobil ketika akan ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat masakah kesukaan Bapak."

Cerita itu menghantamku. Aku tidak ingat bahwa Bapak pernah mengisahkan kisah tersebut padaku. Aku tahu Nenek dan Kakek sudah lama meninggal tetapi aku sama sekali tidak memiliki ingatan tentang apa penyebabnya.

"Itu adalah penyesalan tersebesar dalam hidup Bapak. Di malam ketika Bapak kembali dari camping, Bapak menangis berjam-jam di kuburan nenekmu yang masih basah. Ketika terbangun keesokan harinya, Bapak tersadar bahwa Bapak kembali berada di dalam tenda camping, di puncak gunung. Bapak berlari menuruni gunung seperti orang kesetanan tetapi tetap tidak bisa menunda kematian Nenek. Upaya apa pun yang Bapak lakukan, hanya berakhir dengan menyaksikan jasad Nenek yang sudah dikebumikan."

"Untuk itukah Bapak mati-matian memecahkan misteri tentang perjalanan lintas waktu?" gumamku.

Bapak menatapku nanar. "Bapak ingin kembali ke waktu yang lebih lampau. Kalau bisa, Bapak akan memilih untuk tidak pergi ke acara perkemahan. Tetapi setiap kali Bapak kembali ke masa lalu, Bapak selalu terbangun di dalam tenda. Sekuat apa pun Bapak berlari, tidak akan bisa mencapai rumah tempat tinggal Nenek tepat waktu."

Aku mengembuskan napas berat. "Apakah menurut Bapak, ayah dari Kakek juga pernah mengalami ini?"

"Mungkin saja," sahut Bapak. "Kamu mengalaminya. Mungkin ayah dari Kakek juga mengalaminya. Mungkin nanti anakmu juga akan mengalaminya."

"Dan pemicunya adalah penyesalan?"

"Bapak tidak bisa membuktikannya secara ilmiah sampai saat ini. Tetapi dari cerita Kakek dan pengalaman Bapak sendiri, benang merahnya adalah rasa penyesalan."

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang