"Hanya kamu yang memanggilku Kai ketika menyingkat namaku. Dari dulu sampai sekarang tidak berubah." Kalimat yang pernah diucapkan Kaivan beberapa minggu yang lalu tiba – tiba saja memenuhi ruang ingatanku. Kalimat yang ketika itu terdengar aneh, kini terasa masuk akal. Seperti kepingan puzzle yang mulai menemukan pasangannya.
Aku menghabiskan sekitar satu jam di gudang belakang rumah untuk mengamati berkali – kali foto – foto yang didominasi oleh gambar Kaivan. Kaivan yang sedang minum kelapa muda. Kaivan dengan motornya. Kaivan yang melambai ke arah kamera sementara tangan satunya lagi memeluk bola basket. Dadaku terasa sesak. Kepalaku dipenuhi banyak tanda tanya. Aku mengembalikan kembali kamera polaroid dan foto – foto itu ke dalam kotak sepatu dan meletakkannya di tempat semula.
Di dalam kamarku, aku berusaha mengurai dan menghubungkan setiap cerita Risa, cerita Mama dan lembaran – lembaran foto, kejadian beberapa minggu belakangan setelah aku mengalami perjalanan lintas waktu, tetapi masih belum menemukan benang merah. Seolah ada satu mata rantai yang hilang.
"Om Arman bukan saja melarangku, tetapi juga melarang teman – teman kelas kita menemuimu. Termasuk Kaivan. Kami tidak tau apa yang sebenarnya terjadi padamu setelah kecelakaan itu, tapi dari Kaivanlah aku tau bahwa kamu mengalami lupa ingatan. Om Arman tidak ingin kunjungan kami memperparah kondisimu. Selebihnya hanya desas – desus belaka. Ada yang bilang ingatanmu hanya sampai di momen ketika kamu SMP."
"Suatu ketika kita pernah berpapasan di jalan. Aku melambai ke arahmu tapi kamu malah menatapku dengan heran. Saat itulah aku percaya bahwa ternyata desas desus itu benar. Aku sedih saat mengetahui kamu tidak ingat padaku lagi." Cerita Risa kembali berdengung di benakku. "Tapi jika ada yang paling sedih dari kejadian yang menimpamu, maka orang itu adalah Kaivan. Rasa bersalahnya padamu sangat besar. Kamu bersamanya saat kecelakaan itu terjadi. Dia tidak pernah berhenti menyalahkan dirinya, Git. Bahkan hingga bertahun – tahun kemudian. Bahkan mungkin hingga saat ini."
Aku tidak bisa membendung air mataku yang kini membanjiri pipi. Aku membiarkannya mengalir. Toh saat ini aku sedang berada di dalam kamar seorang diri. Tidak ada yang melihatku menangis jadi aku bebas melakukannya selama yang kumau.
"Tidak lama berselang setelah peristiwa itu, Kaivan pindah dengan ibunya kembali ke kota asal mereka. Tapi ada hal yang perlu kamu tau, Gita. Hampir setiap bulan Kaivan menelepon dan memintaku menemuimu, mengecek keadaanmu. Sesuatu yang tentu saja tidak mudah aku lakukan karena selain Om Arman masih melarangku menemuimu, kamu juga tidak lagi mengenaliku. Jadi, yang aku lakukan hanya berdiri di depan rumah Tante Salma, tetanggamu, menunggu satu dua jam hanya untuk melihatmu keluar atau masuk ke dalam rumah, lalu mengabarkan pada Kaivan bahwa kamu baik – baik saja."
Kenapa Kaivan tidak menceritakan semua itu padaku? kalau dia memang sangat ingin aku mengingat kembali masa lalu kami, kenapa dia tidak berusaha menceritakannya langsung padaku? Atau apakah selama ini sebenarnya dia berusaha membuatku mengingat kembali masa lalu kami, sementara yang aku lakukan justru menceritakan apa yang terjadi di masa depan?
Aku jatuh tertidur karena kelelahan menangis entah untuk berapa lama. Saat aku terbangun, aku bisa melihat langit malam dibingkai oleh jendela kamarku. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, menatap kaca sejenak dan menyadari wajah sembab dan mata bengkakku tidak bisa berbohong tentang berliter – liter air mata yang sudah tumpah. Aku tidak melakukan upaya apa pun untuk membuat sembab di wajahku berkurang. Mungkin nanti aku harus mandi demi membuat tubuh dan pikiranku lebih segar.
Ruang tengah rumahku lengang. Kursi di depan TV yang sering Bapak duduki juga kosong. Aku berjalan ke arah kamar Bapak, mengetuk daun pintu sambil berseru pelan, "Pak, Bapak." Ini sudah jam tujuh malam dan aku ingin tahu apakah Bapak sudah makan dan minum obat. Namun, tidak ada sahutan dari dalam sana. "Bapak!" Aku meninggikan suara sembari menekan kenop pintu hingga membuka. Bapak tidak ada di dalam kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...