Wajah Kaivan muncul di dalam benakku. Aku sedang menutup mata, tapi aku bisa melihat dengan jelas paras Kaivan dengan berbagai ekspresi. Kaivan tersenyum, terkekeh, mengerling, mengernyit. Wajah Kaivan yang sedang berpikir, tidur, menangis. Kaivan pernah menangis sesenggukan di hari kelahiran Bintang. Menangis sambil terus – menerus bergumam di telingaku, "Kamu hebat, Gita. Kamu hebat, Sayang. Terima kasih karena telah melahirkan anak kita ke dunia ini." Wajah Kaivan semakin jelas di dalam pikiranku, menampilkan ekspresi yang merupakan perpaduan antara marah dan kecewa. Pada setiap pertengkaran kami, ekspresi itulah yang akan dia tunjukkan.
Aku beringsut mundur ketika melihat wajah Kaivan muncul semakin intens. Tidak ada yang terjadi. Saat membuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Adri. Menatapku dengan kening berkerut. Kesadaran menyergapku. Saat ini aku masih berada di kamar kontrakan Adri, sedang duduk bersisian dengannya. Dia nyaris menciumku tetapi tidak dia lakukan. Mungkinkah karena melihat gelagat tubuhku yang seolah menolak?
"Maaf ...." gumamku.
Ekspresi wajah Adri seketika berubah. Dari yang awalnya penuh keheranan menjadi lebih rileks. "Kenapa minta maaf?" sahut Adri. "Aku mengerti sekarang."
Kedua alisku terangkat.
"Kamu belum bisa melupakan Kaivan."
"Apa!?" tanyaku terkejut. Kenapa Adri bisa berkata demikian? Di kehidupan yang kujalani saat ini, aku dan Kaivan adalah orang asing yang belum lama saling mengenal.
"Waktu lembur hari Sabtu kemarin, kamu sendiri yang bilang seperti itu, kan? kamu menyesal pernah bersama dengannya."
"Oh ... itu ... aku tidak tau apa yang sedang aku katakan saat itu. Aku bicara sembarangan." Aku mencoba mencari alasan.
"Aku sudah menduganya sejak awal. Kamu dan Kaivan seolah sudah saling mengenal jauh sebelum kalian bersama di SKM." Adri tampaknya tidak begitu mempercayai alasan yang baru saja kuutarakan.
Aku menggeleng. "Aku baru mengenal Kaivan ketika di SKM, Dri." Aku tidak sedang berbohong, bukan? Sagita di tahun 2017 adalah Sagita yang baru saja mengenal Kaivan.
"Benarkah?" kening Adri kembali berkerut. "Lalu kenapa Kaivan memintaku untuk menjauhimu?"
"Apa!?" Bagian yang ini sama sekali tidak kuprediksi. Aku pikir yang dikatakan Rano hanya mengada – ngada belaka. Rupanya benar ketika itu mereka bertengkar dan Kaivan mengatakan hal – hal semacam itu?
"Itu ... aku tidak tau, Dri," ucapku pelan. "Aku dan Kaivan tidak ada hubungan apa – apa." Saat mengatakan hal itu, entah kenapa rasa sakit kembali menghantam jantungku. Organ – ogan tubuhku seolah tengah bersekongkol untuk menentang semua yang aku katakan. Mereka seperti memberontak karena aku mengatakan hal yang bukan kebenarannya.
Adri terdiam cukup lama, seolah tengah mencerna semua yang tadi kukatakan, mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang tidak, mana yang bisa dia percaya dan mana yang tidak, sebelum dia berkata, "Mungkinkah di masa depan, kamu dan Kaivan adalah pasangan?"
"Hah?" Aku kembali terkejut dengan ucapan Adri yang tak terduga itu.
"Kamu bilang kamu berasal dari masa depan."
Aku berdoa Adri tidak bisa mendengar bunyi degup jantungku yang mulai tak karuan ini. "Adri, please, aku kan sudah bilang kalau itu ...."
"Apakah kamu sedang tersesat di masa lalu saat ini, Gita?" Adri menginterupsi ucapanku dengan pertanyaannya.
Tidak ada yang bisa aku ucapkan. Mulutku terkatup rapat, enggan bekerja sama dengan otakku yang tengah memikirikan berbagai alasan lagi dan lagi.
"Apakah kamu sangat ingin kembali ke masa depan sampai – sampai kamu bilang padaku kalau kamu sering membaca artikel tentang perjalanan melintasi waktu? Apakah kamu sedang mencari cara agar bisa kembali ke masa depan? Apakah kamu ingin kembali ke masa depan di mana kamu hidup bersama Kaivan?"
Aku masih belum menemukan kata yang tepat untuk diucapkan, maka aku hanya bisa diam.
"Apakah kehidupanmu bersama Kaivan bahagia?" Pertanyaan Adri masih berlanjut. Matanya lekat menatapku. "Di masa depan yang kamu jalani itu, aku ada di mana?"
Sikap diamku sekarang terasa mulai menyiksa. Aku ingin membalas ucapan Adri, dengan apa saja yang mungkin terdengar masuk akal baginya, tetapi bibirku malah memilih untuk mengatup rapat. Apakah ini saatnya aku mengatakan kebenaran kepada Adri? Apakah memang aku harus mengatakan kejujuran kepadanya? toh, dia sudah tahu sejauh ini.
Namun, belum sempat aku mengatakan apa pun, Adri berseru, "Got you!" Lalu sebuah tawa pecah dari mulutnya. "Git, ya ampun. Muka kamu pucat sekali."
Keningku berkerut memandang Adri yang masih terpingkal – pingkal. Tidak ikut tertawa bersamanya.
Mungkin karena melihatku tidak tertawa sama sekali, seketika itu juga tawa Adri pun menghilang. "Aku cuma becanda, Git. Kamu marah?"
"Hah?"
"Aku lihat kamu agak tegang waktu kita bicara tentang Kaivan, jadi, aku coba becanda untuk mencairkan suasana. Tapi, maaf kalau kamu malah tidak suka."
"Ah, bukan begitu." Aku gegas menyela. "Aku hanya bingung kamu tiba – tiba bicara soal perjalanan melintasi waktu, masa depan dan sebagainya ini."
Adri tersenyum. "Karena kamu bilang kamu suka baca – baca tentang fiksi ilmiah seperti itu, aku juga jadi ikut tertarik. Aku coba baca beberapa artikel, nonton film bertema seperti itu dan ternyata menarik."
"Ya. Sangat menarik." Aku mengembuskan napas lega. Berusaha menenangkan diriku.
"Kayaknya cerita itu bagus, ya."
"Cerita apa?"
"Cerita yang baru saja aku sampaikan. Andaikan ada orang yang bisa kembali ke masa lalu. Ah tidak. Andaikan kamu kembali ke masa lalu, masa di mana kamu belum bertemu dengan pasanganmu, aku yakin bahwa apa yang akan kamu lakukan, sangat ditentukan oleh apa yang sudah terjadi di masa depan. Jika memang pasanganmu itu membahagiakanmu di masa depan, kamu pasti ingin mengulangi masa lalu yang sama. Iya, kan, Git?"
"Ya. Jika memang perjalanan lintas waktu itu bisa terjadi, aku rasa semua orang akan melakukan hal itu."
Adri mengangguk seolah menyetujui ucpanku. "Aku kenal seorang teman yang suka menulis. Mungkin aku bisa memberikan ide ini untuk dijadikan cerita atau novel mungkin."
"Ide bagus." Aku menanggapi seadanya. Masih mencoba mencerna apa yang tadi Adri katakan. Jadi, dia mengatakan semua tentang Kaivan dan perjalanan melintasi waktu hanya untuk mengerjaiku? Astaga, aku merutuki kebodohanku karena beberapa menit yang lalu hampir saja mengatakan hal yang sebenarnya kepada Adri.
Aku meraih mangkuk sup Adri yang isinya sudah tandas dan beranjak dari sofa tempat kami duduk, menuju wastafel dan mencucinya.
"Jangan dicuci, Git!" seru Adri.
"Nggak apa – apa. Cuma satu mangkuk ini, kok." Aku meletakkan mangkuk yang sudah kubilas itu di atas rak piring dan berbalik, "Sudah malam. Aku pulang, ya."
"Aku antar." Adri berdiri dan menghampiriku.
"Tidak perlu. Aku bisa pesan taksi online," selaku. "Kamu harusnya banyak istirahat."
Adri terus mendekatiku. Ketika jarak kami hanya tersisa tiga jengkal orang dewasa, kedua lengan Adri terulur dan mendarat di bahuku. "Gita, aku ingin jadi masa kini dan masa depanmu. Aku berjanji akan membahagiakan kamu di masa depan, biar lain kali kalau kamu terlempar lagi ke masa lalu, tidak ada yang kamu sesali dan juga tidak ada yang ingin kamu ubah."
Aku terbelalak. "Kamu bencanda, kan?"
Adri tertawa. "Ya, untuk terlempar ke masa lalu tapi tidak untuk membahagiakan kamu di masa kini dan masa depan. Aku sangat serius soal itu. Jadi, mulailah membiasakan dirimu dengan kehadiranku dan biasakanlah mengatakan 'ya' untuk setiap tawaran yang aku berikan kepadamu. Dimulai dari 'ya' untuk aku mengantarmu pulang hari ini."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...