Keadaan yang Tak Terkendali

253 55 12
                                    


"Kamu jadian sama Adri?!" Mata Hara melebar.

"Aku tidak bilang begitu," sangkalku. "Aku bilang, mari kita coba saling mengenal pelan pelan dan ...."

"Alah kelamaan! Intinya, kamu terima ajakan dia untuk berhubungan lebih serius. Ya, kan? cieeh ...." Kalau tidak segera kuhentikan, aku yakin Hara akan segera membuat gaduh dan membuat seisi kantin samping kantor langganan kami itu menoleh. "Apa aku bilang. Adri oke juga, kan? Arisan-able."

"Hah?"

"Ck..." Hara berdecak sebal. "Maksudku, nggak malu – maluin kalau dibawa arisan atau acara – acara keluarga. Nggak kalah ganteng kan sama Kaivan?"

"Ssst, Ra. Suara kamu tuh, ya! bisa pelan sedikit, nggak?"

"Kenapa? Nggak ada Adri dan Kaivan di sini." Sore itu, setelah jam kantor usai, sebelum Hara melanjutkan jam lemburnya, dia memang memintaku untuk menemaninya ngopi – ngopi. Aku tidak menolak karena aku memang berniat untuk menceritakan hal – hal yang sudah terjadi kemarin padanya. "Tapi, tunggu dulu. Kamu bilang, kamu menerima perasaan Adri di dalam mobil waktu dia menyelamatkan kamu dari Kaivan di pemakaman umum?"

Aku mengangguk.

"Sebentar. Aku nggak paham. Ngapain kamu sama Kaivan di pemakaman umum?"

"Tidak sengaja bertemu. Kaivan mau ziarah ke makam ayahnya."

"Lah, kalau kamu?" Hara menyeruput minumannya sambil menunggu jawaban dariku.

"Aku ... aku mau ke makam Bintang."

"Bintang?" Hara mengernyit, tetapi tiga detik kemudian kedua kelopak matanya melebar, seolah – olah baru saja teringat akan sesuatu. "Oh, shit! Git, kamu ... kamu baik – baik aja, kan?"

"Kemarin itu aku cuma lagi rindu sama Bintang, Ra," ucapku lirih. "Di awal – awal Bintang meninggal, kalau aku rindu dia, aku akan memeluk bantal dan guling kecilnya. Ada aroma tubuh Bintang di sana."

"Gita ... I'm so sorry ...." Bisik Hara. Tangannya terulur untuk mengusap lenganku.

"Pakaian yang terkahir Bintang pakai waktu kami bawa dia ke rumah sakit tidak pernah aku cuci. Ada bau tubuh Bintang di sana. Aroma bedak bayi sama minyak telon. Aroma favoritku." Aku bisa merasakan kedua mataku memanas. Pengelihatanku mulai berbayang. "Sekarang kalau rindu Bintang, apa yang harus aku peluk dan aku cium aromanya? Aku bingung, Ra. Aku bingung." Kali ini aku mengalah pada emosiku dan membiarkan air mata sialan itu menetes.

Dan Hara benar – benar sahabat yang pengertian karena dia membiarkan aku melarut dalam kesedihanku tanpa repot – repot memintaku untuk berhenti menangis. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja. Tidak peduli dengan mata – mata orang lain yang mungkin saja saat ini sudah memandang heran ke arahku.

Setelah beberapa menit – aku rasa lebih dari lima menit – sesenggukan dan ketika merasa sudah jauh lebih lega, aku mengangkat kepalaku.

"Sudah plong?" Hara tersenyum sambil memandangku dengan tatapan yang tidak menghakimi sama sekali. Jenis tatapan yang sangat aku butuhkan di saat – saat aku terkenang kembali pada tubuh mungil putraku yang terasa dingin ketika terakhir aku sentuh. Bukan tatapan menghakimi seperti yang Ibu Rieka berikan setiap kali dia melihat mataku sembab dan wajahku masai.

"Mau nangis darah pun Bintang tidak akan hidup lagi! sekarang baru kamu menyesal, toh? Tugas seorang ibu ya urus anak, bukan mengejar karir sana sini!"

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang