"Gita? Kamu kenapa?" Suara Kaivan semakin jelas. Aku bahkan bisa mendengar derap langkah kakinya mendekat. Aku belum sempat berbalik ketika merasakan cengkraman di siku, menghentak tubuhku untuk bangkit berdiri. Saat aku memiliki kesempatan membalikkan badan, mataku tertumbuk pada dada bidang seseorang. Aku refleks melangkah mundur karena menyadari sudah berdiri begitu dekat dengan seorang pria. "Kamu lagi apa di sini?" Pria yang tak lain adalah Kaivan.
"Ah ... itu ...." Tidak ada kalimat sempurna yang berhasil meluncur dari mulutku.
"Kamu menangis?" Wajah Kaivan terlihat cemas. Aku segera mengusap jejak – jejak air mata yang tentu saja masih terlihat jelas di wajahku. Aku bisa merasakannya.
"Kamu ... sudah pulang dari Kalimantan?" adalah kalimat pertama yang berhasil kuucapkan.
Tidak langsung menjawab, Kaivan justru mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Ke sekeliling kami. "Kamu sedang ziarah?" tanyanya pelan, terkesan hati – hati atau mungkin ragu karena tidak ada pusara di dekat tempatku tersimpuh tadi.
"Ah, ya!" jawabku cepat. Enggan mengundang lebih banyak pertanyaan dari Kaivan. "Kamu sendiri? ngapain di sini?"
"Aku mau ziarah ke makam ayahku." Kaivan menunjuk ke arah salah satu nisan tak jauh dari tempat kami berdiri. "Di sana."
Ya, tentu saja Kaivan kemari untuk alasan yang jelas. Ayahnya dikuburkan di pemakaman ini. Hanya berjarak dua pusara dari nisan Bintang.
Aku mengangguk pelan. "Kamu sampai kapan dari Kalimantan?"
"Tadi siang. Terus mumpung hitungannya masih dinas, ibuku minta ditemani ziarah ke makam Ayah, jadi, ya, kenapa tidak."
"Jadi, kamu datang sama Ibu ke sini?" tanyaku memastikan sekali lagi.
"Van? Kok berhenti di sini?" belum pula Kaivan menjawab, seorang wanita paruh baya muncul di belakangku. Sosok yang sangat familiar bagiku. Ibu Rieka. Mertuaku. Mertuaku yang tampak tidak pernah menyukaiku bahkan sejak hari pertama Kaivan memperkenalkan kami.
"Iya Bu, kebetulan ketemu teman kantor," sahut Kaivan.
Aku berbalik perlahan agar dapat melihat secara langsung sosok wanita yang di masa depan, di kehidupan yang pernah aku jalani sebelum kembali ke tahun 2017, menjadi mertuaku itu. Aku memaksakan senyum demi kesopanan meski di pikiranku mulai muncul kelebatan – kelebatan memori tentang kata – kata dan perbuatannya yang kerap kali membuat hatiku sakit.
"Kamu itu semestinya mengalah, Git. Kamu kan sudah tau konsekuensinya menikah sama Kaivan. Salah satu dari kalian harus berhenti. Kok kamu malah tega – teganya membiarkan Kaivan yang mengundurkan diri. Sukur dia langsung dapat kerja di bank lain. Kalau tidak, bagaimana? Kaivan itu laki – laki, kepala keluarga pula. Harga dirinya mau ditaruh di mana kalau misalnya dia musti nganggur lama."
"Kalau kamu tidak keras kepala mengejar karir dan fokus ngurusin Bintang, Ibu yakin semua tidak jadi begini. Mungkin Bintang bahkan masih hidup."
Kepalaku berdenyut, awalnya perlahan, namun semakin lama, intensitasnya semakin kuat ketika kelebatan memori itu menyeruak ke permukaan. Rasanya sakit. Rasanya tanah di bawah heels sepatuku goyah. Aku harus pergi sebelum jatuh pingsan karena menahan rasa kesal demi melihat wajah Ibu Rieka.
"Git ... Gita?" suara Kaivan menyentakku ke masa kini.
"Hah?"
"Aku tadi bilang kalau ini ibuku."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomantikKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...