Kaivan adalah jenis manusia yang mudah menjadi pusat perhatian. Aku masih ingat bagaimana aku tidak bisa melepaskan tatapan dari wajahnya bahkan di hari pertamaku bekerja di kantor pusat. Seolah ada kutub utara magnet di dirinya dan aku adalah kutub selatan magnet yang akan selalu tertarik padanya. Aku tidak bisa menjelaskan hal ini. Pun menjelaskan kealihannya untuk membuat siatuasi dalam pernikahan kami menjadi rumit di kemudian hari.
Angkuh dan merasa paling benar. Aku pernah membaca sifat buruk itu sebagai sifat yang melekat pada orang – orang berbintang Leo. Demi Tuhan, aku tidak mempercayai segala bentuk ramalan apalagi horoscope, tetapi Kaivan sering sekali berkata bahwa Sagitarius adalah pasangan terbaik Leo bahkan pada perjumpaan pertama kami. Kaivan bilang berulang kali padaku bahwa dia yakin kami telah ditakdrikan bersama. Sejak kepergian Bintang aku tidak yakin jika kami memang ditakdirkan bersama.
"Kalau kamu mau lebih bertanggungjawab sebagai ibu, mungkin sekarang Bintang masih hidup, Git!"
Bintang meninggal di usia empat bulan tanpa tanda – tanda, tanpa sakit, tanpa aba – aba. Dokter mendiagnosanya sebagai Sudden Infant Death Syndrome. Kaivan mendengar sendiri apa yang dokter jelaskan kepada kami. Kaivan ada di sana dan dia menyaksikan sendiri penyampaian dokter bahwa SIDS adalah salah satu penyebab utama kematian bayi di rentang usia 2 – 4 bulan. Aku yakin IQ yang dimiliki Kaivan sangat cukup untuk memahami maksud ucapan dokter sehingga tidak akan pernah menganggap kematian Bintang adalah kesalahanku. Ketelodoranku. Ketidakbertanggungjawabanku sebagai ibu. Aku memutuskan kembali bekerja setelah cuti melahirkan selama 3 bulan, menyerahkan urusan Bintang pada seorang baby sitter dari yayasan, yang pada suatu siang meneleponku dan dengan kepanikan pada suaranya mengabarkan bahwa Bintang tidak bernapas lagi.
Seharusnya, Kaivan yang berhasil mendapatkan promosi jabatan di salah satu bank ternama tanah air pada usia terbilang muda itu memiliki kecerdasan yang memadai untuk memahami bahwa kematian Bintang bukan salahku. Aku sama bersedih dan menderitanya dengan dia. Air susuku masih mengalir sehingga aku harus memompa payudaraku dan membuangnya ke wastafel karena Bintang sudah tidak ada untuk meminumnya. Jahitan vaginal akibat melahirkan Bintang masih terasa setiap kali aku buang air kecil, tapi Kaivan justru dengan semena – semena mengatakan bahwa keputusanku bekerja kembali setelah melahirkan adalah penyebab kematian Bintang?
Aku masih bisa merasakan sesaknya kehilangan dan perihnya hari – hari yang diwarnai pertengkaran setelah kematian anak kami. Bintang mewarisi sebagian besar bentuk wajah Kaivan dan Kaivan sangat menyayanginya. Aku mencoba memahami kehilangan yang Kaivan rasakan sementara dia tidak memahami rasa kehilanganku. Aku akhirnya memutuskan resign dan mencoba kembali memiliki anak meski luka karena kepergian Bintang masih menganga. Mungkin kehilangan kami bisa terobati dengan kehadiran anak lainnya. Tetapi hubunganku dan Kaivan terlanjur mendingin. Pernikahan kami tak pernah sama lagi. Tak akan pernah sama lagi. Ketika berada dalam suatu pusaran masalah, memang lebih mudah menyalahkan orang lain daripada menerima hal tersebut sebagai bagian dari takdir.
"Jadi, begitu sampai, kita check in di hotel dulu dan lanjut ketemu Pak Idrus sekalian makan siang." Suara Kaivan membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan menyadari bahwa saat ini aku sedang duduk di samping Kaivan, di dalam pesawat ATR yang membawa kami terbang menuju ke kota kabupaten tempat lokasi proyek pembangungan jalan akan kami kunjungi. Penerbangan ke tempat tujuan kami tidak sampai satu jam. Jika perjalanan darat maka memerlukan waktu enam hingga delapan jam. Rute darat itulah yang selalu kutempuh untuk pulang ke rumah Bapak.
Aku tidak ingat kejadian ini. Terbang bersama Kaivan menuju ke tempat tinggal Bapak tidak pernah aku alami. Ya, aku tidak pernah mengalami ini. Mungkinkah hal itu karena di kehidupan yang pernah aku jalani sebelumnya, aku tidak pernah meragukan Pak Idrus? waktu pertama kali dimutasi tempo hari aku langsung mengerjakan proposal pengajuan kredit Pak Idrus tanpa banyak bertanya apalagi protes. Di kehidupan yang sekarang aku tidak setuju untuk mengerjakan proyek ini sehingga Kaivan merasa perlu untuk membawaku mengunjungi Pak Idrus. Astaga, aku baru sadar bahwa sedikit saja perbedaan tindakan yang aku lakukan bisa mempengaruhi peristiwa yang aku lalui dengan begtu signifikannya.
"Aku tidur di rumah orang tuaku."
"Apa?"
"Aku bilang kalau aku tidak perlu check in. Aku akan tidur di rumah orang tuaku," ulangku.
"Oke. Tapi setelah makan siang kita langsung lihat proyek jalan. Jaraknya sekitar sejam dari hotel. Sudah ada mobil kantor cabang yang stand by di hotel. Hari Minggu kita free dan penerbangan baliknya itu sore. Aku juga sudah pesan tiket untuk balik."
Sifat buruk Leo lainnya adalah dominan dan egois. Lihat saja bagaimana Kaivan mengatur jadwal kunjungan kami tanpa menanyakan sedikit pun tentang pendapatku. Bukankah kami tim? Tapi, aku sungguh tidak peduli pada kunjungan bisnis ini dan pada si Idrus itu. Fokusku sekarang adalah bertemu dengan Bapak dan kalau beruntung bisa meyakinkannya untuk memeriksakan jantungnya ke dokter atau rumah sakit karena jantung itu jugalah yang akan membunuhnya tiga tahun dari sekarang.
"Setelah kunjungan ke lokasi proyek pembangunan jalan aku antar kamu pulang ke rumah bapak kamu." Suara Kaivan kembali terdengar di antara gemuruh berisik mesin pesawat yang memenuhi kabin.
"Hah? Nggak usah." Sergahku cepat. Kamu tidak datang di pemakaman Bapak dan aku tidak ingin kamu menginjakkan kakimu lagi di rumah orang tuaku! Kalimat berikutnya tentu saja hanya kuucapkan dalam hati.
"Tidak apa – apa. Kan ada mobil kantor. Lagi pula aku tidak ada kegiatan lain lagi setelah agenda pertemuan kita dengan Bapak Idrus."
Dan aku tidak lagi memiliki alasan untuk menolak tawaran Kaivan meski tadi sebelum boarding, Hara masih sempat meneleponku hanya untuk sekadar bilang, 'jaga jarak dari Kaivan ya, Git. Kamu pernah mencintai dan menikahinya. Tidak menutup kemungkinan on the spot kali ini menimbulkan benih – benih cinta di hati kamu. Jangan mengulangi kesalahan yang sama, Gita. Setidaknya sampai kita tahu apa yang terjadi padamu ini.'
Ketika mendengar pesan – pesan Hara itu ada berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadaku. Lucu, bahagia, kaget. Lucu karena akhirnya Hara mulai mempercayai bahwa aku datang dari masa depan, melakukan perjalanan melintasi waktu atau entah apalah ini. Bahagia karena akhirnya aku memiliki seseorang yang setidaknya bisa mendengarkan semua cerita – cerita yang seharusnya mustahil terjadi dan kaget karena aku tidak pernah menyangka Hara akan berpikir bahwa kebersamaanku dengan Kaivan bisa menimbulkan benih – benih cinta. Di titik ini, aku sangat membenci pria yang tengah duduk di sampingku ini. Level kebencian yang membuatku ingin memukulnya sekuat tenaga.
"Gita, terima kasih karena mau pergi sama aku hari ini. Aku senang kita bisa sama – sama." Lalu suara Kaivan kembali terdengar. Kali ini lebih lirih. Dikalahkan oleh deru mesin pesawat yang masih bergemuruh, terlebih kami duduk tak jauh dari baling – baling. Aku nyaris saja menganggap bahwa aku sedang salah dengar hingga Kaivan kemudian menolehkan wajahnya ke arahku. Matanya menumbuk manik mataku. Dia tersenyum dan aku merasakan dadaku berdesir.
Bagaimana bisa aku mencintainya sekaligus membencinya sebesar ini?[]
***
Teman – teman, Sabtu Minggu saya libur update ya ... biar kayak pegawai – pegawai kantoran. Heheh. Jangan lupa tinggalin vote dan komentar. See yaaa and xoxoxo.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...