Bintang Kita

282 58 4
                                    

Aku baru saja selesai makan siang di kedai sebelah gedung  dan hendak berbalik kembali ke kantor ketika langkah kakiku tertahan. Pemandangan seorang perempuan muda yang sedang menggenggam tangan mungil anak laki – laki di sampingnyalah yang menahanku. Usia anak itu mungkin tiga atau empat tahun. Aku pernah punya impian akan mengajak Bintang jalan – jalan berdua saja ke taman, ke pantai atau ke mana saja kaki – kaki kecilnya bisa melangkah. Kami akan bergandengan tangan seperti ibu muda dan anaknya yang sedang kusaksikan ini. Bapak dan Mama berpisah saat aku masih kecil. Aku tidak punya banyak pengalaman bersama Mama Mama adalah wanita yang energetik dan ceria. Aku mengenalnya setelah lebih dewasa dan punya banyak kesempatan untuk menemuinya. Untuk itulah, aku terus bermimpi bisa menghabiskan banyak waktu membersamai tumbuh kembang Bintang. Impian yang kemudian harus aku kubur dalam – dalam karena hal itu ternyata tidak pernah bisa aku lakukan.

"Kamu itu kan perempuan, Git. Harusnya kamu ngalah sama Kaivan. Kok kamu biarkan dia yang resign dan lamar kerja di bank lain?"

"Maksud Ibu, harusnya Gita yang lamar di tempat lain ?"

"Bukan begitu. Kamu ya harusnya resign saja. Nggak usah kerja. Kamu di rumah urus anak, urus suami, urus rumah. Mau apa sih masih berkarir segala? Kalau Bintang nanti lebih dekat sama baby sitternya, apa kamu sebagai ibu nggak nyesal?"

Pembicaraan dengan Ibu Rieka, mertuaku, maksudku, ibunya Kaivan, pada waktu kami sudah menikah muncul kembali dalam ingatanku. Kantorku tidak memperbolehkan pernikahan sesama pegawai. Untuk itu, ketika kami memutuskan menikah, Kaivan yang resign dan melamar kerja di bank tetangga. Tepatnya, di bank tempat Meyra bekerja, dengan posisi di bawah jabatan yang dia miliki saat ini. Tetapi, kami sudah sepakat dan Kaivan melakukannya atas kemauan sendiri. Aku sudah menawarkan diri untuk resign tetapi Kaivan melarangku. Menurut pendapat Kaivan, lebih mudah bagi laki – laki yang sudah menikah untuk mendapatkan pekerjaan baru dibandingkan wanita. Kami memutuskannya bersama, atas dasar kerelaan kedua belah pihak, tetapi tampaknya, Ibu Rieka tidak pernah mengerti kondisi tersebut dan tidak pernah menghormati keputusan kami.

"Git? Lagi lihatin apa?" Suara Kaivan mengejutkan lamunanku. Entah dari mana dia datang.

"Coba dulu kamu dengarkan kata – kata Ibu untuk resign! Semua nggak akan jadi begini. Sekarang semua sudah terlambat. Sebesar apa pun rasa penyesalanmu semua tidak akan kembali seperti sediakala!"

"Ini semua kan keputusan kita berdua, Kai. Kok sekarang kamu jadi nyalahin aku?"

Demi melihat wajah Kaivan, kilasan kenangan, atau apa pun itu – ah, sial! – aku bahkan belum menamai memori tentang masa depan yang aku miliki ini, muncul tanpa bisa dikendalikan. Wajah Kaivan yang dipenuhi amarah, Kaivan sangat jarang lepas kendali, tetapi ketika itu dia begitu marah, menari – nari di benakku. Matanya yang nyalang menatapku. Dia dan ibunya terus saja menyalahkan aku atas hal – hal yang bukan kuasaku.

"Gita? Kamu baik – baik saja?" suara Kaivan kembali menyeretku ke kenyataan. Ke tahun 2017. Tahun 2017 adalah kenyataan yang sedang aku jalani saat ini. Kaivan maju selangkah sementara tangannya sudah terulur untuk menyentuhku.

"Jangan mendekat!" Refleks kata – kata itu yang meluncur dari mulutku. Kata – kata yang terlampau sering aku ucapkan di setiap pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga kami. 'Jangan mendekat! Aku tidak mau lagi lihat kamu di kamar ini! aku atau kamu yang keluar?!' Ada terlalu banyak perselisihan. Terlalu banyak pertengkaran yang menimbulkan luka.

"Gita?" Kaivan mengernyit. Mungkin heran melihat gelagatku yang tampak tidak menyukai kehadirannya. Tapi, aku sungguh tidak peduli apa yang Kai pikirkan. Memori tentang kehidupan pernikahan kami benar – benar menggangguku. Aku tidak tahu lagi berapa lama bisa bertahan untuk berada di dekat Kaivan, bersikap biasa, sementara ingatan akan pernikahan kami di masa depan yang serasa neraka masih tergambar jelas dalam benakku.

Aku gegas berbalik. Berjalan dengan langkah panjang – panjang meninggalkan Kaivan yang mungkin masih berdiri mematung memandangi tingkah anehku. Aku memencet tombol angka enam di lift dengan tergesa – gesa, berharap Kaivan tidak menyusul. Dan sukurlah pintu lift itu menutup sebelum sosok Kaivan terlihat. Ketika lift terbuka di lantai enam, aku tak langsung menuju ke ruangan tempat unitku berada, melainkan kuputuskan untuk masuk ke dalam toilet demi menenangkan gejolak emosiku sejenak. Tapi, ternyata ada Hara di sana.

"Git? Udah makan siang?"

Aku mengangguk cepat.

"Yah, padahal baru mau ajak kamu makan siang. Lapar banget, nih! Adri itu kalau on the spot paling nggak mau mampir – mampir. Eh, kamu kenapa?"

Aku gegas mengusap air mata yang sungguh sialan sekali karena menetes di waktu yang tak tepat.

"Kamu kenapa, Git? Kamu nangis?" Hara yang sedari tadi sibuk touch up kini menghadapkan sepenuh tubuhnya ke arahku. Tampak panik. Tangan kanannya menyentuh pundakku.

Aku menghambur ke pelukan Hara. Pertahananku luruh seketika. Detik berikutnya aku sudah menangis terisak – isak di pundak Hara. "Aku ... aku kangen sama Bintang, Ra," kataku tersedu – sedu.

"Bintang? Bintang siapa?"

"Anakku."

"Anak kamu dan Kaivan di masa depan?"

Aku mengangguk dengan sedikit lega karena merasakan telapak tangan Hara menepuk – nepuk pelan pundakku. Setidaknya untuk kali ini dia membiarkan aku menangis dengan tenang tanpa meginterupsi ucapanku dengan keraguannya akan kisah perjalanan lintas waktu yang kualami ini.

"Aku kangen sama Bintang. Aku ingin ketemu Bintang."

"Memangnya Bintang ke mana? Bagaimana caranya kamu bisa ketemu Bintang?" Hara bertanya pelan. Aku menghargai usahanya untuk membuat semuanya terasa normal padahal membicarakan persoalan Bintang pun adalah hal yang tidak normal, bukan? Bintang bahkan belum ada saat ini.

Saat di restoran Italia tempo hari, saat aku berkata bahwa kelak aku dan Kaivan akan memiliki anak bernama Bintang, Hara menatapku dengan mulut menganga lalu detik berikutnya dia tertawa. 'Imajinasimu tinggi banget, Gita. Harusnya kamu jadi penulis aja!' Demikianlah respon Hara. Akan selalu seperti itu. Tetapi saat ini, sudah kukatakan aku menghargai upaya Hara untuk tidak menertawai ucapanku tentang Bintang.

"Apa yang terjadi pada Bintang di masa depan?" pertanyaan Hara kembali meluncur dengan pelan dan terkesan hati – hati.

Aku merenggangkan jarak di antara kami demi mendengar pertanyaannya. Aku berbalik menghadap ke arah kaca besar di atas wastafel, mengambil tisu dan mengusap jejak - jejak air mata di wajahku.

"Bintang meninggal, Ra." Suaraku bergetar. Bukti bahwa aku harus menguatkan segenap hati untuk mengucapkan hal itu. "Bintang meninggal. Aku bahkan masih bisa merasakan tubuhnya yang dingin di pelukanku."

Lalu air mataku tumpah kembali. Percuma saja kuusap berkali – kali karena akan ada lagi air mata yang mengumpul di pelupuk dan jatuh tanpa permisi mengikuti gravitasi.

Tidak ada yang pernah tahu apa yang dihadapi sepasang suami istri yang ditinggal mati sang anak selain pasangan itu sendiri. Pernikahanku dan Kai tidak pernah sama lagi sejak kepergian Bintang.[]

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang