"Gimana, Pak? Udah medical check up?" Aku membaringkan tubuh di atas kasur, ponsel pintar melekat di telingaku. Ada Bapak di ujung panggilan ini.
"Sudah, Git."
Aku refleks beranjak, mengubah posisiku dari berbaring menjadi duduk. "Bapak sudah konsultasi ke dokter?"
"Sudah. Bapak sudah bawa hasil laboratoriumnya ke dokter, seperti yang kamu suruh waktu itu."
"Terus gimana?"
"Gimana apanya?"
"Gimana hasilnya?"
"Baik. Seperti kata Bapak, Bapak baik – baik saja. Keadaan Bapak sehat. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
"Betulan, Pak?"
"Ngapain Bapak bohong?"
Refleks aku mengembuskan napas lega. Meski dalam hati masih bertanya – tanya tentang apakah Bapak sedang mengatakan kebenaran padaku. Masih jelas sekali dalam ingatanku bagaimana dokter yang menangani Bapak berkata bahwa andaikan penyakit Bapak diketahui lebih cepat, mungkin masih ada kesempatan untuk mengupayakan usaha lain yang lebih baik. Mencari donor jantung, misalnya.
"Sudahlah, Git. Bapak baik – baik saja. Lebih baik kamu fokus pada dirimu dan pekerjaanmu, oke?"
"Iya, Pak." Aku mengangguk.
"Oh, ya. Teman kamu gimana, Git?"
"Hm? Teman?"
"Iya, teman kamu yang waktu itu datang sama kamu lihat proyek jalan di sini."
"Kaivan?" Kenapa Bapak tiba – tiba menanyakan Kaivan?
"Iya, Kaivan. Gimana dia?"
"Gimana apanya maksud Bapak?"
"Ya, gimana kabarnya?"
"Kaivan baik – baik saja, Pak." Aku mengernyit heran. Sejak dulu, Bapak tidak pernah menaruh minat pada teman – temanku. Sekadar tahu nama mereka saja sudah cukup buatnya. Tetapi, kenapa sekarang Bapak malah bertanya tentang Kaivan?
"Kalian dekat?" tanya Bapak lagi.
"Maksudnya dekat bagaimana?"
"Ya, apakah kalian menjalin hubungan lebih dari teman kantor?"
"Maksud Bapak pacaran?" tembakku.
"Ya, seperti itulah."
"Tidak," jawabku cepat. "Gita memang lagi dekat sama orang di sini, Pak. Tapi itu bukan Kaivan."
Terdengar embusan napas Bapak di seberang telepon. "Oh, begitu ...." Nada suaranya terdengar kecewa.
"Kenapa, Pak?"
"Tidak apa – apa, Git. Kamu tidak ada rencana kenalin pacar baru kamu ke Bapak?"
Aku tersenyum membayangkan kembali wajah Adri yang tampak tegang pada makan malam pertama kami kemarin. Tidak banyak hal yang kami bicarakan selain sama – sama memuji rasa masakan Jawa yang sangat enak di tempat kami makan kala itu. "Baru dekat, Pak. Nanti Gita kenalin kapan – kapan."
"Siapa namanya?"
"Bapak, kok tumben kepo begini?"
"Bapak cuma ingin tahu siapa calon mantu Bapak. Apa salah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...