"Gila sih ini. Kamu kok bisa tau kalau kamu akan diminta Pak Sam duduk di sampingku? Kamu bilang tentang hal ini kan di lift tadi." Hara bertanya dengan penuh rasa penasaran ketika aku duduk dan mulai menata meja kerjaku. Rasa penasaran Hara mungkin sama besarnya dengan rasa penasaranku tentang Kaivan yang mengetahui nama panjangku. Dia tahu dari mana?
Omong - omong tentang Kaivan, aku baru ingat kalau di hari ini akan turun hujan saat jam pulang nanti. Aku terjebak di lobi kantor karena tidak membawa payung dan dia menawariku untuk ikut ke dalam mobilnya. Jarak kos dan kantor ini tidak sampai sepuluh menit berjalan kaki tetapi debit hujan yang akan turun di sore menjelang malam nanti cukup deras sehingga tidak perlu sepuluh menit, sepuluh detik saja sudah cukup untuk membuatku basah kuyup.
"Di mana aku bisa beli payung ya, kira - kira?" Alih - alih menjawab pertanyaan Hara, aku malah bergumam tentang payung. Aku ingat ada mini market yang berjarak beberapa blok dari kantor. Mungkin di sana aku bisa membeli payung sehingga memiliki alasan yang kuat untuk menolak ajakan Kaivan nanti.
"Hah?" Aku bisa mendengar suara Hara di sampingku. Tetapi aku lebih memilih untuk beranjak. "Eh, mau ke mana, Git?"
"Mau beli payung sebentar."
"Payung?" Hara mengernyit ke arahku sejenak lalu memalingkan pandangannya ke arah jendela ruangan yang tengah membingkai langit cerah dengan matahari yang cukup terik untuk ukuran jam sembilan pagi.
"Nanti malam turun hujan." Aku menambahkan.
"Nanti malam turun hujan?" Hara mengulangi ucapanku tetapi dengan sengaja membubuhi tanda tanya yang tebal di akhir kalimatnya. Seolah baru saja mendengarkan lelucon, dia lanjut bertanya, "Pekerjaan sampingan kamu pembawa berita prakiraan cuaca, ya? sudah mau sebulan ini nggak hujan. Ini bulan April. Musim kemarau. Lagipula, di luar terik sekali Gita."
Aku berpaling dan sengaja cepat - cepat berlalu meninggalkan Hara yang belum berhenti merepet, tak menyadari kalau ternyata gadis itu menyusulku dan mulai menyejajari langkahku. "Tunggu aku ikut," katanya.
"Mau ikut ke mana?"
"Kamu mau beli payung, kan? aku tau mini market dekat sini. Aku tunjukkan kamu jalannya."
"Aku tau kok mini marketnya di mana," sahutku.
"Tau dari mana? Kamu baru datang dari kabupaten, kan? atau kamu sebenarnya asli sini? penempatan pertama yang di kabupaten, ya?"
Aku menggeleng dan memutuskan untuk tidak menghalangi Hara menemaniku ke mini market. "Aku lahir dan besar di kabupaten, kok. Baru kali ini datang ke kota. Ya, karena dimutasi."
"Terus kamu tau letak mini market itu dari mana? Sudah pernah ke sana sebelumnya? atau ada orang yang kasih tau?" Hara terus saja mencecarku dengan pertanyaan.
Di semesta yang pernah kujalani sebelum ini, Hara yang friendly juga semudah ini akrab denganku. Ah, apa sebenarnya yang sudah terjadi padaku? Aku terdampar di semesta yang berbeda? Aku terdampar di masa lalu? atau apa? astaga! kesibukanku menghindari Kaivan membuatku melupakan pertanyaan besar itu. Apa yang sebenarnya sudah terjadi padaku?
"Sebenarnya aku lebih penasaran tentang kata - kata kamu di lift tadi," gumam Hara sambil memijit tombol lift di angka satu.
"Kata - kataku yang mana?" Aku dan Hara beriringan masuk ke dalam lift.
"Tentang duduk di sampingku. Tentang kita akan bersahabat. Tentang kamu menemaniku melahirkan tiga tahun dari sekarang. Kamu peramal, ya?"
Aku tersenyum. Tidak ada orang di dalam lift selain kami berdua. "Kalau aku mengatakan yang sebenarnya kamu tidak akan percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
Roman d'amourKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...