"Mungkinkah kamu hanya mengkhayalkan semua ini?" Hara menyeretku ke lantai tujuh. Tempat di mana atap bangunan kantor kami berada. Tidak ada ruangan di sana. Lantai tujuh adalah tempat meletakkan generator set, beberepa parabola pemancar entah apa dan kerap kali dijadikan sebagai smoking area bagi pegawai – pegawai pria. Dari lantai tujuh kami bisa memandang hampir sebagian kota dan juga garis pantai di kejauhan sana.
Angin memainkan anak – anak rambutku sehingga berkali – kali aku harus menyibaknya agar tidak menusuk ke mata. Begitu pun Hara. Wanita itu pikir, aku bisa sedikit tenang dengan menghirup udara segar di siang hari mendung ini, melupakan rasa laparnya yang mungkin sudah lenyap, mungkin juga dia tahan demi rasa setia kawan.
"Ini bukan sekedar khalayan, Ra. Aku masih ingat bagaimana sakitnya melahirkan Bintang. Aku kontraksi sejak jam dua belas malam. Bintang lahir jam tiga subuh." Aku mengatakan semua itu tanpa menatap ke arah Hara. Sementara dia terdiam menyimak semua ucapanku meski barangkali pikirannya masih dipenuhi keragu – raguan. "Aku bahkan masih bisa merasakan dingin tubuh kecil Bintang di pelukanku saat ... saat dia meninggal. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu. Luka yang timbul atas kepergian Bintang sangat dalam dan menyakitkan. Kaivan ... Kaivan berubah sejak saat itu."
Bagaimana bisa ini hanya khayalan belaka ketika bayangan wajah Kaivan yang sekusut kemejanya masih menari – nari di benakku? Cuti berduka di kantor hanya dua hari. Kaivan masuk kerja di hari ketiga. Tapi sejak saat itu dia selalu pulang lebih larut. Dengan wajah yang sama kusut dengan pakaiannya. Beberapa kali dia pulang dengan menumpang di mobil Meyra. Aku tidak tahu kenapa Meyra bisa mengantarnya pulang dan tidak berani bertanya karena aku takut mendengar jawabannya. Aku tidak bisa menanggung satu lagi luka sejak kepergian Bintang. Luka yang timbul dari pengkhianatan Kaivan, misalnya.
Namun di suatu malam di masa depan, ketika aku rasa suasana hatiku sudah jauh membaik dan pikiranku lebih tenang, aku akhirnya melontarkan pertanyaan itu.
"Kenapa belakangan ini sering pulang sama Meyra, Kai?"
"Memangnya kenapa?"
"Kamu kan punya mobil sendiri."
"Aku tidak sanggup nyetir."
"Tidak sanggup nyetir bagaimana?"
"Pikiranku kacau. Aku takut nabrak orang kalau maksain nyetir sendiri."
"Kamu kan bisa pesan taksi online."
"Sagita, cukup! Jangan hari ini. Aku tidak ingin berdebat hari ini."
"Jangan hari ini? maksud kamu apa? kamu sering pulang bareng perempuan lain. Kamu nggak peduli perasaan aku?"
"Kamu cemburu sama Meyra?"
"Wajar, kan?"
"Astaga! Kamu tidak tahu apa – apa, Sagita! Kamu tidak tahu apa yang sudah Meyra lakukan untuk kamu, untuk kita."
"Untuk aku? Apa yang sudah Meyra lakukan untukku? Aku bahkan tidak kenal dia selain status dia yang adalah mantan pacar kamu!"
"Nah! Karena tidak mengenal Meyra, sebaiknya kamu berhenti berpikiran buruk tentangnya."
Bagaimana bisa ini hanya khayalan semata kalau aku masih ingat dengan jelas detail pertengkaran kami dan masih bisa merasakan luka yang timbul atas pertengkaran itu?
"Lalu penjelasan apa yang logis atas cerita kamu ini ya, Git?" suara Hara menyeretku dari lamunan. "Sori, aku bukannya tidak mau percaya tapi ini benar – benar sulit untuk dimengerti. Kamu datang dari tahun 2020 ke tahun 2017 dengan semua memori tentang peristiwa di masa depan. Gila! ini harusnya cuma terjadi di film – film aja kan, Git?"
Aku tidak menyalahkan Hara jika dia memang belum percaya pada ceritaku. Memangnya siapa yang bisa percaya? Aku tidak menyalahkan Hara kalau dia lebih memiliki meyakini pendapatnya bahwa ini semua hanya khayalanku. Ini hanya imajinasi, ini hanya halusinasi, ini hanya khayalan. Opsi – opsi itu memang jauh lebih mudah diterima dibanding kemungkinan aku melakukan perjalanan lintas waktu. Sukur – sukur dia tidak menganggapku gila.
Saat mencari tahu tentang teori penjelajah waktu, time traveler, atau entah apalah itu, aku menemukan sebuah artikel yang membahas sebuah prinsip bernama Pisau Cukur Ockham. Prinsip yang lahir dari pemikiran William Ockham, seorang pendeta dan ahli logika. Pada prinsip Pisau Cukur Ockham, jika kamu dihadapkan pada banyak penjelasan akan sebuah fenomena, maka pilihlah yang paling sederhana. 'Aku hanya mengkhayalkan semua kejadian di masa depan.' Itu adalah opsi yang paling sederhana.
"Jikapun memang benar kamu kembali ke masa lalu, di saat kamu baru mengenal Kaivan, lalu apa yang akan kamu lakukan, Gita? Apakah kamu akan membiarkan diri kamu dekat lagi sama Kaivan, pacaran dan sampai menikah dengan Kaivan?" Pertanyaan Hara menyentakku. Pertanyaan yang jelas bukan perkara sederhana sama sekali. Pertanyaan yang tidak aku miliki jawabannya saat ini.
Pernikahanku dengan Kaivan di masa depan jelas tidak berjalan dengan baik. Jika boleh memilih, aku tidak ingin mengulangi pertengkaran – pertengkaran kami lagi. Aku tidak ingin pertengkaran itu kembali melukaiku atau melukai Kaivan.
Namun, jika aku tidak menikah dengan Kaivan, aku tidak akan pernah memiliki Bintang di hidupku. Padahal mungkin kali ini aku bahkan bisa mencegah kematiannya? Aku mungkin bisa mencegah kematian Bapak?
"Tuhan pasti punya alasan kenapa membuat kamu mengalami semua ini." Gumaman Hara kembali terdengar. "Atau mungkin ini kesempatan yang Tuhan berikan untuk kamu, Git. Untuk kamu memperbaiki semuanya."
Aku memandang ke Hara saat bertanya, "Jadi, apa kamu sudah mulai mempercayai ceritaku?"
"Ya, nggak juga, sih!" Hara menyahut yakin. Sialan!
Aku tertawa mendengar tanggapan Hara. "Harus gimana sih biar kamu percaya sama ceritaku, Ra? Aku tahu tentang Ferdi, tentang anak kalian di masa depan, tapi kamu masih juga tidak percaya."
"Kamu mungkin sudah mendengar tentang Ferdi dari orang lain dan tentang anakku dan Ferdi di masa depan, mungkin kamu hanya mengarangnya saja." Hara mengedikkan bahu.
"Ya ampun! Kamu masih berpikir kalau semua ini hanya cerita karanganku saja?" Aku menyahut. Perasaanku sudah jauh membaik dibanding saat menangis dalam pelukan Hara di toilet tadi. "Oke, mungkin bisa jadi aku tahu tentang Ferdi dari orang lain. Tapi, apakah orang lain juga tahu kenapa kamu mati – matian mempertahankan Ferdi adalah karena kamu pernah mengetes kekuatan iman Ferdi di hotel waktu kalian libur di Bali? Kamu nyaris telanjang di depannya dan dia bukannya mengambil kesempatan malah cepat – cepat bungkusin badan kamu pakai selimut. Apakah orang lain juga tahu tentang itu, Ra? Kamu bilang manusia seperti Ferdi langka. Pilihannya hanya dua, kalau tidak dinikahi, harus segera dimuseumkan."
Mulut Hara menganga mendengar penuturanku. Aku jadi merasa kasihan pada sahabatku ini. Entah sudah berapa kali dia hanya bisa melongo seperti orang bodoh setiap kali mendengar ucapanku.
"Dari mana kamu tau soal liburanku dan Ferdi di Bali? Kamu bobol CCTV hotel, ya!?"
Aku tertawa terbahak – bahak untuk sekian detik sebelum menjawab, "Beberapa bulan sebelum kalian menikah, kamu dan Ferdi bertengkar hebat. Kamu nangis – nangis sambil bilang bahwa kamu tidak akan pernah melepaskan Ferdi dan menceritakan tentang peristiwa hotel di Bali itu padaku. Kamu bilang, wanita yang menikahi Ferdi adalah wanita yang paling beruntung di dunia dan kamulah yang harus menjadi wanita itu."
"Oh my God, kamu benar – benar datang dari masa depan, Git?"
"Aku sudah bilang padamu puluhan atau mungkin ratusan kali."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...