Kaivan tidak masuk kantor hingga keesokan harinya. Dia tidak memberikan kabar, tidak bisa dihubungi dan tentu saja membuat Pak Sam dan Bu Ratih kembali uring – uringan. Akibat lain dari ketidakhadiran Kaivan ke kantor adalah aku yang seharian sibuk menghubungi perusahaan – perusahaan pihak ketiga, meminta mereka mempercepat progress pembuatan laporan pendukung yang nantinya diperlukan untuk penyusunan proposal pengajuan kredit atas usaha Idrus Hamid.
Ada sebagian dari diriku yang mencemaskan Kaivan dan ingin berlari mengetuk pintu rumahnya. Tentu saja aku tahu di mana tepatnya Kaivan tinggal pada tahun 2017 ini. Sebagai anak tunggal dalam keluarga, Kaivan tinggal bersama ibunya. Ibu Rieka, wanita yang kelak akan menjadi ibu mertuaku dan membuatku merasa tidak pernah diterima seutuhnya di dalam keluarga mereka. Ah, entahlah. Itu mungkin hanya perasaanku semata. Bukankah kata orang – orang, mertua dan menantu wanita memang jarang bisa akur?
Namun, sebagian dari diriku yang lain menentang mati – matian niatku untuk mengunjungi rumah Kaivan meski hanya untuk sekadar mengecek kabarnya. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Kaivan. Kalau aku ingin mengubah masa depan, maka inilah satu – satunya cara yang harus aku tempuh. Maka, hari itu kuhabiskan dengan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan proposal kredit Idrus Hamid karena Pak Sam mau laporan itu sudah ada di mejanya besok pagi.
***
Akhirnya Kaivan muncul.
Setelah dua hari menghilang bak ditelan bumi, hari ini Kaivan muncul tepat sebelum morning briefing dimulai.
"Ya, ampun Kaivan! Dari mana saja kamu!?" Suara Ibu Ratih menyambut kedatangan Kaivan.
Sementara pemuda itu justru hanya menyengir jahil seolah merasa puas sudah membuat seisi kantor menjadi gaduh atas ketidakhadirannya selama dua hari belakangan.
"Van ... Van ... kamu itu kalau tidak hadir, mbok ya kasih kabar. Nomor hape kamu juga tidak aktif!" Pak Sam menimpali.
"Maaf, Pak. Saya demam. Hape juga rusak." Kaivan menjawab singkat.
"Untung cuma hape kamu yang rusak bukan otak kamu!" balas Pak Sam. "Jangan pikir kamu tidak akan dapat sanksi atas ketidakhadiran kamu yang tanpa kabar itu."
"Siap, Pak. Saya terima apa pun sanksinya." Kaivan menyahut masih dengan cengiran khas yang terukir di parasnya. Kaivan memang selalu seperti itu. Tidak ada permasalahan yang terlalu berat baginya. Dia selalu masih bisa tersenyum meski orang – orang di sekitarnya panik. Tapi, hal itu tidak berlaku ketika dia dihadapkan pada kematian. Kematian anak kami. Bintang.
Dari tempatku berdiri, aku memperhatikan wajah Kaivan. Mencoba mencari setitik saja pertanda yang mungkin bisa menjelaskan ketidakhadirannya di kantor dua hari kemarin. Apakah itu karena pertengkaran kami, ataukah karena dia memang benar – benar sakit seperti yang dia katakan? Ketika tiba – tiba pandangan Kaivan menangkap mataku, aku terkejut tetapi terlalu terlambat untuk pura – pura berpaling. Kaivan tersenyum ke arahku. Aku segera memalingkan wajah karena tidak ingin lebih lama lagi bertatapan dengannya.
"Kaivan, Sagita, setelah morning briefing ini kalian berdua langsung ke ruangan saya." Ucapan Pak Sam segera menginterupsi hal – hal yang menari – nari dalam benakku.
"Baik, Pak." Aku dan Kaivan menjawab serempak.
***
Tidak menunggu lama setelah morning briefing dibubarkan, aku melihat Kaivan mengetuk pintu ruangan Pak Sam. Mau tidak mau, aku pun bergegas menyusul di belakangnya.
"Permisi, Pak." Kaivan yang memberi salam.
"Duduk Van. Kamu juga, Sagita." Dari meja kerja miliknya, Pak Sam menunjuk sebuah sofa di sisi lain ruangan. Di dalam ruang kerja Pak Sam memang terdapat sofa yang digunakan untuk menyambut tamu, atau pun berdiskusi perihal pekerjaan bersama tim, seperti yang saat ini akan kulakukan bersama Kaivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...