Hawa hangat yang terasa di wajahku kontras dengan suhu dingin yang menembus pakaianku. Aku berusaha membuka mata dan yang pertama kali terlihat adalah pemandangan pekarangan rumah Bapak yang berputar sembilan puluh derajat. Aku menyadari bahwa rasa hangat yang menyapu pipiku tadi adalah sinar matahari pagi sedangkan rasa dingin di tubuhku berasal dari bangku besi tempatku berbaring saat ini.
Aku beranjak dengan susah payah karema kepalaku terasa berat. Sebuah benda terjatuh dari pangkuanku. Aku menunduk untuk meraihnya sambil bertanya-tanya kenapa Bapak membiarkanku tidur di pekarangan belakang seperti ini? bukankah tadi malam kami sedang bercerita tentang masa lalu dan kisah ajaib perjalanan waktu yang sama-sama kami alami? Kami mengobrol sampai jam berapa? Sejak kapan aku jatuh tertidur?
"Perkinahan adalah ikatan yang kuat. Ketika kamu dan Kaivan diambil sumpah untuk saling setia, taukah kamu bahwa perjanjian itu mengguncang langit? Kembalilah kepada kehidupanmu di masa depan, Gita. Pernikahamu dan Kaivan tidak berakhir hanya karena kamu sedang melakukan perjalanan melintasi ruang dan waktu."
Kalimat yang diucapkan Bapak semalam terlintas tepat ketika aku berhasil meraih benda berbentuk kotak pipih yang terjatuh tadi. Ketika membaliknya, aku terkejut karena ada foto pernikahanku dan Kaivan di sana. Refleks aku berdiri dan menoleh ke sana kemari, "Bapak!" seruku panik.
Aku beralari ke dalam rumah, membuka pintu kamar Bapak yang tak terkunci. Bapak tidak ada di dalam sana. Kamarnya begitu wangi dan tempat tidurnnya yang beralas seprai putih tertata rapi.
"Bapak!" Aku kembali berseru. Rumah terasa lengang. Tidak ada Bapak yang duduk di kursi ruang tengah menonton televisi. Bahkan asbak yang biasa digunakannya menjentikkan abu rokok terlihat bersih. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Bapak di dalam rumah.
"Bapak!" Langkahku berpacu secepat degup jantungku. Aku berhambur ke luar rumah dan berteriak di teras depan. "Bapak di mana? Bapak!"
"Git, Gita? Kamu baik-baik saja?" Suara seorang wanita terdengar dari rumah sebelah. Aku mengenali pemilik suara itu. Tante Salma.
"Tante, Tante lihat Bapak?" tanyaku cemas.
Bukannya menjawab, Tante Salma justru memandangku dengan ekspresi terkejut.
"Bapak tidak ada di rumah. Aku khawatir Bapak jalan-jalan sendiri. Kalau dia kecapean dan kenapa-kenapa di jalan, bagaimana? Bapak kan baru keluar dari rumah sakit."
"Gita, apa kamu yakin kamu baik-baik saja?"
"Aku baik, Tante. Bapak yang sakit. Kan Tante sama aku yang bawa Bapak ke rumah sakit."
Tante Salma melongo. Ekspresi keterkejutan di wajahnya tidak juga reda. "Tapi, Bapak kamu sudah meninggal, Gita."
"Apa!?" Aku berseru kaget sehingga suaraku terdengar seperti lengkingan di telingaku sendiri.
"Bapakmu sudah dikuburkan kemarin," tambah Tante Salma. "Kamu baik-baik saja? Kamu sendirian? Mau Tante temani di rumah?"
Aku bisa merasakan kelopak mataku melebar. Betapa terkejutnya diriku mendengar penuturan Tante Salma. Aku memandang sekali lagi bingkai foto yang tengah kugenggam. Fotoku dan Kaivan yang tengah mengenakan baju pernikahan kami. Hari ini tanggal berapa? Bulan apa? tahun berapa?
Air mataku refleks tumpah dan menitik pada foto pernikahanku dan Kaivan. Satu tetes. Dua tetes. Makin deras. Semalam, aku masih berbincang dengan Bapak. Semalam, di tahun 2017, seharusnya aku belum menikah dengan Kaivan. Lalu, jika saat ini aku tengah menggenggam bingkai foto pernikahan kami, apakah itu artinya aku sudah kembali ke masa depan?
"Gita?" suara Tante Salma yang sedang berdiri di teras rumahnya terdengar khawatir.
Aku gegas menyusut air mata dan berujar, "Aku baik-baik saja, Tante. Aku cuma bingung. Aku masuk dulu, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...