"Bapak pernah medical check up?" tanyaku di sela bunyi dentingan sendok yang beradu dengan piring porselen. Masakan Bapak seenak biasanya. Sejak kecil, setelah Mama pergi dari rumah dan aku menangis siang dan malam menanyakan kenapa Mama tidak pulang, Bapak menggantikan posisi Mama dalam menangani perkara makanan dan sebagian besar kebutuhanku.
Aku masih ingat menu makanan yang sering Bapak masak di minggu – minggu pertama kepergian Mama. Tempe goreng, tahu goreng, telur mata sapi. Simpelnya, semua yang digoreng. Seiring berjalannya waktu keahlian Bapak meningkat. Menu yang Bapak masak semakin beragam dan aku mulai menikmati masakan – masakan buatan Bapak hingga aku lupa bagaimana rasa masakan buatan Mama.
"Medical check up? Bapak baik – baik saja, kok. Bapak sehat bugar begini kamu suruh medical check up segala."
"Medical check up bukan hanya dilakukan ketika kita merasa sakit atau didiagnosa penyakit. Di kantorku setiap tahunnya diadakan medical check up dan hasilku selalu baik – baik saja sejauh ini."
"Sukurlah kalau begitu," sahut Bapak.
"Nah, Gita juga mau Bapak melakukan medical check up. Di sini ada kok laboratoriumnya. Tapi weekend begini tidak buka, sementara Gita mesti balik ke kota besok. Bapak bisa kan pergi sendiri senin lusa?"
Gerakan tangan Bapak yang sedari tadi sibuk menyendokkan makanan ke mulutnya terhenti seketika. "Bapak baik – baik saja, Git. Kok kamu tiba – tiba suruh Bapak cek kesehatan?"
Aku terdiam meski ingin sekali kukatakan bahwa bukan tanpa alasan aku memintanya melakukan ini. Ini bukan permintaan yang tiba – tiba.
"Bapak Arman menderita kardiomiopati dan sepertinya sudah tahunan."
"Saya tidak mengerti, Dokter. Kardio ...."
Suatu hari di tahun 2020, seorang tetangga rumah Bapak menelepon ponselku. Mengabarkan bahwa Bapak pingsan di teras dan sudah dibawa ke rumah sakit. Aku terbang dengan penerbangan pertama keesokan harinya. Aku masih ingat betapa paniknya aku saat berlari dan terengah di koridor rumah sakit demi mendapati Bapak yang terkulai lemah di ruang UGD. Belum juga sadarkan diri sejak pingsan pertama kali.
"Ada lepuh darah di jantung Bapak Arman. Seharusnya bisa ditangani dengan transplantasi jantung tapi ...."
"Tapi, kenapa Dokter?"
"Tapi saat ini sudah sangat terlambat."
"Apa maksud, Dokter? Jadi, aku harus bagaimana? tidak adakah hal yang bisa kita upayakan saat ini?"
"Saat ini kita hanya mengharapkan mukjizat, Bu. Berdoalah sesering mungkin."
Sehari kemudian Bapak tersadar dengan kondisi yang melemah. Bapak melihatku dan bertanya tentang pernikahanku. Apakah pernikahanku baik – baik saja? apakah Kaivan memperlakukanku dengan baik? semua kujawab dengan anggukan dan kebohongan. Aku katakan bahwa aku dan Kaivan baik – baik saja. Aku katakan bahwa pernikahanku baik – baik saja. Tak sampai sejam kemudian Bapak mengalami sesak napas yang parah. Bapak kembali pingsan dan tidak pernah bangun lagi.
Apakah jika aku menceritakan semuanya, Bapak akan percaya bahwa permintaanku agar dia menjalani pemeriksaan kesehatan bukan semata perkara yang tiba – tiba? jika bisa terdeteksi lebih awal, kemungkinan besar Bapak masih bisa disembuhkan.
"Percaya saja sama Gita, Pak," ujarku akhirnya. Hanya itu yang bisa aku katakan. "Hari Senin nanti Bapak medical check up ya di lab. Gita yang bayar semuanya."
Bapak tersenyum sambil menatapku. "Bapak tidak butuh uang kamu, Gita. Bapak cuma mau kamu sehat dan bahagia."
"Gita juga ingin Bapak sehat dan bahagia. Jadi, hari Senin Bapak harus medical check up. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...