"Sejak kapan kamu dan Adri menjadi sedekat ini?" Itu suara Kaivan dan jantungku nyaris saja melompat dibuatnya.
Akhirnya aku membiarkan Adri mengantarku pulang ke tempat kos. Mobilnya langsung berlalu pergi begitu aku turun dari sana. Namun lihatlah siapa yang kini berdiri di hadapanku? Kaivan Leo Mahendra. Mau apa lagi sih, dia di depan pekarangan rumah kosku sekarang?
"Aku sudah mengirimkan draft laporan keuangan dan proyeksi untuk sepuluh tahun ke depan lewat email. Kamu sudah lihat? Kalau ada yang kamu rasa perlu dikoreksi, kamu bisa membalas email-nya." Ngomong – ngomong, tahu dari mana dia tempat tinggalku?
"Aku kemari bukan untuk bicara soal pekerjaan." Sahut Kaivan datar.
"Lalu hal penting apa yang membawamu malam – malam begini kemari?"
"Aku ingin bicara."
"Tentang apa?" kejarku.
"Tidak di sini," balas Kaivan. "Bisa kita bicara di tempat lain?"
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?" Apakah dia lupa terakhir kali dia membawaku dengan paksa ke pantai, kekacauan seperti apa yang kami lalui? Aku tidak akan pergi ke mana – mana dengan Kaivan lagi.
"Aku mohon, Gita." Kaivan memelas. Wajahnya tampak selusuh kemeja yang dia kenakan. Apakah membaca laporan keuangan Idrus Hamid yang tadi siang kukirimkan membuat kepalanya sakit?
"Kai, silakan bicara di sini. Atau tidak perlu bicara sama sekali," ucapku tegas. Aku sudah mengambil ancang – ancang untuk berjalan melaluinya menuju ke kamarku, tetapi cengkraman Kaivan yang tiba – tiba mendarat di pergelanganku menahan langkah yang baru saja akan kuambil.
"Sagita, tunggu!" serunya tanpa melepas kaitan jemarinya di tanganku. "Ingatan apa yang kamu miliki tentang aku?"
"Apa?" Aku terkejut dan kebingungan dengan pertanyaan Kaivan. "Apa maksudmu?"
"Waktu kita lembur di hari Sabtu, kamu bilang kalau kamu menyesal kita pernah bersama."
"Aku tidak mau membahas itu lagi, Kai," tandasku cepat. Mencoba melepaskan tanganku dari cengkraman Kaivan, tetapi tampaknya sia – sia saja sebab tenaganya jauh lebih kuat.
"Apa kamu mengingat sesuatu tentangku?" tanya Kaivan lagi.
Aku menggeleng cepat. "Aku hanya asal bicara saja. Tolong lepaskan!"
"Kamu tidak seperti sedang asal bicara. Kamu tampak yakin waktu mengatakan semua itu. Seolah – olah, di masa lalu, aku sudah sangat menyakitimu."
Ya! tentu saja! apakah kamu baru sadar sekarang betapa aku terluka dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku, Kai? Ah, tidak! mungkin kita sama – sama telah saling menyakiti. Aku tidak boleh egois dengan menimpakan semua masalah dalam pernikahan kita padamu saja, bukan? Aku ingin sekali meneriakkan kalimat itu ke wajah Kaivan tetapi aku tidak sanggup melakukannya. Sebagai gantinya, jantungku justru berdegup sangat kencang, menghantam rongga dadaku hingga membuat atmosfer di sekitar kami seolah menjadi sangat pekat.
"Lepaskan tanganku, Kai. Aku tidak mau bicara denganmu," lirihku. Aku bisa mendengar getaran yang sangat jelas pada suaraku.
"Kalau begitu jawab aku. Apa yang kamu ingat tentangku? Kamu pasti sudah mengingat sesuatu?"
Aku memberanikan diri menatap ke dalam mata Kaivan meski berbagai rasa kini mulai berkelindan di dalam diriku dan membuat perutku terasa mual. "Apa yang sedang kamu bicarakan, Kai? Kita hanya dua orang asing yang belum lama saling mengenal. Aku tidak punya ingatan apa pun tentang kamu. Apalagi di masa lalu." Aku tidak bisa menahan air mata untuk menerobos dan jatuh ke pipi. Kenapa setiap kali mencoba meyakinkan diriku bahwa di masa sekarang, di tahun 2017 ini, aku dan Kai hanyalah dua orang asing, hatiku terasa hancur?
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
Roman d'amourKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...