Asal Mula Sebuah Nama

228 51 15
                                    

Dan cerita Mama terus berlanjut. Tentang Bapak yang terobsesi dengan teori perjalanan waktu. Tentang dinding – dinding rumah kami yang disulap Bapak menjadi seperti papan tulis. Penuh dengan coretan – coretan yang berisi rumus dan permasamaan – persamaan entah apa. Mama tidak begitu mengetahui apa yang Bapak tulis atau rumus apa yang tengah coba dia pecahkan karena Mama hanya seorang mahasiswa Sastra Inggris yang jatuh cinta pada mahasiswa jurusan Fisika berkaca mata yang baginya terlihat seksi ketika sedang membenamkan wajahnya pada lembaran – lembaran buku tebal yang terlihat 'berat'. Begitulah Mama memandang Bapak. Begitulah Mama jatuh cinta pada Bapak. Begitulah obsesi Bapak terhadap teori perjalanan waktu yang akhirnya juga harus menjadi penyebab perpisahan mereka.

Dan cerita Mama terus berlanjut. Tapi tak ada satu pun dari cerita itu yang terdengar familiar bagiku. Cerita tersebut terasa seperti dituturkan dari tempat yang jauh. Sangat jauh. Bahkan mungkin asalnya bukan dari bumi. Dinding – dinding rumah yang Mama bilang penuh dengan rumus dan persamaan entah apa, aku tidak pernah melihatnya. Obsesi Bapak terhadap perjalanan lintas waktu, aku tidak pernah mendengarnya. Aku tidak pernah mendengar Bapak membicarakan tentang pengalamannya melintasi waktu, kecuali ....

"Bapak kok suka memandangi langit sambil bengong? Bapak sedang mikirin apa?"

"Bapak sedang berpikir, apakah ada kehidupan seperti di bumi, di salah satu bintang di antara jutaan bintang yang ada di alam semesta? Tuhan pasti tidak hanya menciptakan manusia bumi, kan?"

"Waduh, Gita nggak bisa jawab pertanyaan Bapak."

Entah kenapa percakapan itu melintas di dalam pikiranku. Bapak suka duduk di halaman belakang rumah kami sambil memandangi langit malam. Di waktu – waktu tertentu aku juga duduk di sampingnya, ikut menengadahkan kepala menantang angkasa. Di saat – saat itu jugalah Bapak akan bertanya hal – hal yang tidak mampu aku jawab.

"Apakah menurutmu ada kehidupan lain, selain kehidupan yang kita jalani di bumi ini, Git?"

"Apa yang akan dihadapi manusia setelah kematian?"

Dan pertanyaan – pertanyaan filosofis lainnya.

"Begitulah yang terjadi pada pernikahan kami, Gita. Ada masa – masa di mana Bapak tenggelam di dalam dunianya sendiri. Tenggelam mengejar sesuatu yang dia yakini nyata sampai – sampai mengabaikan kehidupan nyata yang sedang kami jalani. Beberapa kali surat peringatan dari kampus tempat Bapak mengajar dikirim ke rumah. Peringatan pemberhentian karena Bapak tidak datang pada jadwal – jadwal dia seharusnya mengajar. Mama tidak bisa hidup dengan laki – laki yang akan menjadi ancaman dalam kehidupan Mama. Bagaimana kalau sampai Bapak dipecat? Bagaimana kalau seluruh uang tabungan habis karena Bapak sering memakainya untuk mendanai proyek pribadinya menciptakan mesin waktu? Mama tidak bisa hidup dengan laki – laki seperti itu, Gita."

Kalimat Mama menyentakkanku dari pikiranku sendiri. Bagaimana kira – kira reaksi Mama jika aku mengatakan bahwa aku juga tengah mengalami fenomena perjalanan waktu? Apakah Mama akan percaya jika aku berasal dari masa depan? Ataukah justru hal itu akan membuatnya meninggalkanku seperti halnya dia meninggalkan Bapak?

"Aku tidak ingat kalau Bapak memiliki obsesi seperti itu," gumamku.

"Sudah lama sekali. Mungkin kamu sudah lupa." Mama tampak berpikir kuat saat menanggapi pernyataanku itu. Seperti sedang mencoba mengingat – ingat sesuatu. "Suatu ketika, tiba – tiba saja Bapak berhenti membicarakan tentang perjalanan waktunya ke masa sebelum ibunya meninggal. Mama lupa kapan persisnya tetapi sejak itu Bapak tidak pernah mengungkit – ungkit tentang itu lagi. Kalau tidak salah, waktu kamu SMA."

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang