Apa Namanya Jika Bukan Cinta?

244 47 7
                                    

Kaivan tidak masuk ke kantor hari ini.

Aku mengendalikan diri sebisanya untuk tidak mencari tahu ke mana gerangan Kaivan. Apa yang membuatnya tidak msuk kantor dan mengabaikan semua panggilan dari Pak Sam ataupun Bu Ratih yang sibuk meminta update pengerjaan proposal kredit Idrus Hamid?

"Sagita, minggu ini kamu bisa selesaikan proposal kreditnya, tidak?" Pak Sam sudah uring – uringan sejak tidak melihat Kaivan hadir pada morning briefing pagi tadi.

"Draft – nya akan saya print dan serahkan ke meja Bapak be ...."

"Saya tidak mau draft, Git! Saya mau proposal finalnya!" Pak Sam menyela ucapanku dengan intonasi suara yang meninggi. Pria itu masih betah berdiri gusar di depan kubikelku.

"Tapi, saya belum terima laporan KAP dan KJPP final dari Kaivan, Pak."

"Ya, kamu minta-lah langsung ke oeang KAP dan KJPP-nya, Git!" Pak Sam tidak akan pernah bersedia dibantah. Dia kemudian beranjak dari kubikelku hanya untuk memanggil Bu Ratih. "Bu Ratih, sini dulu, Bu!"

Ibu Ratih datang tergopoh – gopoh tak sampai dua menit kemudian. "Ya, Pak?" Kini Pemimpin unit dan wakilnya itu berdiri di depan meja kerjaku, seolah bersiap memberikan penghakiman atas pekerjaanku yang tak juga rampung.

"Kaivan ke mana sih, Bu? Dia tidak masuk alasannya apa? Sakit? Urusan keluarga? Ponselnya mati."

"Saya juga tidak terinformasi nih, Pak." Bu Ratih menyahut. "Saya sudah hubungi dia dari pagi tadi tapi hapenya tidak aktif."

"Kaivan ini gimana, sih!? sakit di saat – saat genting begini." Pak Sam masih menyerocos sambil menggulir layar ponsel pintarnya. "Pak HBB sudah tanyain kita kapan bisa komite Idrus Hamid. Tahu kan si Idrus itu gimana? Dia telponin Pak HBB terus!"

Yap! Idrus Hamid memang sudah menyusahkan sejak dini. Memberikannya tambahan kredit hanya akan menambah masalah. Tapi, tentu saja tidak ada yang mau mendengarkan ucapanku meski aku bersumpah bahwa aku datang dari masa depan dan sudah melihat dengan mata kepala sendiri kekacauan yang Idrus Hamid buat pada unit kami.

"Saya mau proposal final sudah ada di meja saya hari Kamis ini!" Pak Sam menoleh ke arahku.

Kamis itu dua hari lagi dari sekarang. Permintaannya sama sekali tidak masuk akal selama aku belum memegang hasil final laporan keuangan dan laporan penilaian jaminan. Menyediakan laporan tersebut adalah tugas SRM sementara kondisi hubunganku dengan Kaivan belakangan ini membuatku jarang bisa berkoordinasi dengannya terkait hal itu. Jadi, aku sama sekali tidak memiliki petunjuk mengenai progres pembuatan laporan – laporan oleh pihak ketiga tersebut. Ya, bagian itu memang salahku. Seharusnya aku bisa lebih profesional dalam berhubungan dengan Kaivan. Tetapi, bagaimana caranya bersikap profesional pada pemuda yang sebelumnya pernah kamu nikahi? Di mana pun aku berada sekarang, bukankah sebenarnya aku masih istri Kaivan? Tidak ada kata cerai terucap dari bibir kami. Astaga! memikirkan hal itu sekarang benar – benar membuat kepalaku pening.

"Bagaimana, Gita? Bisa, kan!?" Seruan Pak Sam mengejutkanku dari lamunan singkat yang tadi tercipta.

"Tapi, saya belum terima ...."

"Saya tidak mau tahu, Sagita!" Pak Sam kembali menyela. "Bu Ratih, tolonglah dikawal. Coba Ibu hubungi kantor KJPP dan KAP yang dipakai. Suruh cepat!"

"Baik, Pak. Nanti saya akan coba hubungi mereka."

"Sama Kaivan juga. Coba hubungi dia terus! Bilangin jangan dulu sakit sebelum proposal Idrus Hamid selesai." Usai mengucapkan hal itu, Pak Sam menjauh dari kubikelku dan masuk kembali ke dalam ruangannya."

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang