Sampai Jumpa di Kehidupan Setelah Ini

244 51 24
                                    


Kaivan masih berada di rumah sakit, menemaniku hingga keesokan harinya. Aku melihatnya terlelap di atas bangku panjang di depan ruang ICU.

"Temanmu itu datang lagi?" Bapak bertanya pelan. Kondisinya masih lemah tapi aku bersyukur karena dia sudah sadarkan diri.

"Iya, Pak."

"Kaivan kan namanya?"

Aku tersenyum karena Bapak masih mengingat nama Kaivan. Hal yang sangat jarang terjadi pada teman – temanku sebelum ini.

"Sampai kapan dia mau di sini? apa dia tidak pulang? Tidak ada kegiatan? Tidak ada yang mencari?" tanya Bapak beruntun.

Aku kembali tersenyum karena kali ini tak ada satu pun pertanyaan pria itu yang aku miliki jawabannya. "Mama juga akan datang dengan pesawat pertama pagi ini."

Bapak tampak terkejut. "Kenapa kamu sampai bilang ke ibumu segala soal kondisi Bapak?"

Alih – alih menanggapi pertanyaan Bapak, aku justru beranjak keluar sambil membawa selimut. "Gita kasih selimut ke Kaivan dulu." Ini jam 4 dini hari. Udara dingin subuh hari di kampung halamanku bisa menusuk hingga ke sum – sum.

Kaivan duduk bersandar di tembok. Kedua matanya tertutup. Kaivan memang bisa terlelap di segela situasi. Ketika kami menikah, aku mendapati kebiasaannya yang sering tertidur di sofa, beberapa kali dalam posisi terduduk, menghadap ke arah layar televisi yang tidak menyiarkan apa pun lagi selain gambar statis. Dia tertidur ketika menonton club bola favoritnya bertanding. Kaivan pernah tertidur di atas meja makan setelah memutuskan mengerjakan deadline pekerjaan kantor usai menyantap makan malam. Dia bahkan pernah tertidur sambil tersandar pada box bayi Bintang. Kelelahan karena sibuk menenangkan Bintang yang rewel seharian akibat demam.

Aku menghamparkan selimut yang tadi kubawa dan meletakkannya perlahan di atas tubuh Kaivan. Tidak ingin menganggu tidurnya. "Terima kasih, Kai. Terima kasih karena ada di sini menemaniku." Entah kenapa aku ingin sekali mengatakan hal itu. Terus menerus. Berulang kali. Andaikan nasib baik lebih lama berpihak pada kita, Kaivan. Andaikan tidak ada duka yang mewarnai pernikahan kita secepat itu. Apakah kita masih mungkin bersama?

***

Mama datang sekitar pukul sepuluh pagi. Dan Mama tidak datang sendiri. Dia bersama Aries, adikku yang terpaut empat tahun denganku. Ketika Mama dan Bapak bercerai, aku tinggal bersama Bapak sementara Mama pergi membawa Aries. Tumbuh di tempat yang terpisah membuat hubunganku dengan Aries tak begitu dekat, terlebih saat ini Aries lebih sering berada di Canberra karena urusan pendidikannya.

"Yang sabar ya, Git." Mama memelukku erat ketika aku menyambutnya di depan pintu ICU tempat Bapak dirawat. "Bapak gimana?"

"Sudah sadar. Sekarang lagi diperiksa sama suster di dalam."

"Mama masuk dulu, ya."

Aku mengangguk sembari melirik ke arah bangku panjang tempat Kaivan tidur semalam. Dia sudah tidak ada di sana. Di tempatnya tadi hanya ada selimut yang aku berikan. Sudah terlipat dalam kondisi rapi. Kemana perginya Kaivan?

"Apa kabar, Mbak Gita?" Aries mendekat. Tubuhnya sudah melampui tinggiku. Di tahun 2017 ini seharusnya usia Aries 23 tahun.

"Aku baik, Ries? Kamu gimana? Om dan adik – adik gimana?" Om dan adik – adik merujuk pada suami Mama saat ini serta anak – anak dari pernikahan keduanya tersebut.

"Papa sama adik – adik baik, Mbak," jawab Aries singkat.

"Kamu lagi liburan di Indonesia?"

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang