Kesempatan Kedua

292 58 11
                                    


Plak!

Aku rasa itu adalah bunyi telapak tanganku yang mendarat telak di pipi Kaivan. Begitu ciuman kami usai dan aku kembali diseret oleh realita, tidak ada hal lain yang lebih ingin aku lakukan dari pada mendaratkan pukulan di wajah laki – laki ini.

Aku bisa melihat Kaivan yang mengernyit kebingungan sebelum aku melompat turun dari kap mobil miliknya.

"Sagita, tunggu!" Kaivan menyusul turun dan sudah berhasil menggapai lenganku.

Aku refleks menepis cengkraman tangan Kaivan dan menatapnya nyalang. "Tamparan tadi untuk sikap kurang ajarmu yang mengambil kesempatan." Aku tahu bahwa aku akan diganjar satu catatan dosa ketika mengucapkan kebohongan itu. Kaivan tidak mengambil kesempatan. Jelas sekali bagaimana aku membalas kecupannya di bibirku tadi. Tapi, aku tidak mungkin mengakuinya, bukan? Terlebih di hadapan Kaivan.

"Gita ... aku ...."

"Dan aku tidak akan segan – segan memberikan satu tamparan lagi untuk sebuah pengkhianatan," selaku memotong kalimat Kaivan.

"Pengkhianatan?"

"Ya. Kamu kan sudah punya pacar, Kai. Apakah kamu pikir apa yang terjadi tadi pantas?"

Kaivan berdesah. Ada senyum kecil yang terbit sekilas di bibirnya. "Tidak pantas? Maksudmu, ciuman kita tadi?"

Kelopak mataku melebar mendengar ucapannya.

"Apa yang salah dengan itu? Aku dan kamu sama – sama sudah dua puluh tujuh tahun. Kamu single, aku juga. Dan aku rasa kamu juga menikmatinya."

Plak!

"Itu untuk pengkhianatan yang kamu lakukan pada Meyra. Tidak seharusnya kamu menciumku kalau ...."

"Aku sudah putus!" seru Kaivan.

"Apa!?"

"Aku dan Meyra sudah putus."

Langit malam ini cerah, tapi aku seperti baru saja mendengar gemuruh yang meledak di dadaku. Oh, sial! Apakah aku sedang mengulang takdir? Kaivan putus dari Meyra dan mulai menjalani hubungan denganku. Kami menjadi dekat, menikah, punya anak lalu anak kami meninggal. Dan pertengkaran demi pertengkaran muncul tanpa pernah aku mengerti bagaimana awalnya. Apakah aku akan membiarkan diriku mengulang semua kepahitan itu?

Aku berbalik, menuju ke arah pintu mobil, membukanya dan mengambil semua barangku dari kendaraan tersebut.

"Kamu mau ke mana?" Kaivan tampak terkejut melihat sikapku.

"Pulang!"

"Aku antar."

"Tidak perlu. Aku tahu jalan pulang."

"Tapi, ini sudah malam, Git." Kaivan menyusulku. Berusaha menahan langkahku.

"Kai, tolong! Tolonglah biarkan aku pulang sendiri. Aku butuh waktu untuk mencerna semua yang terjadi. Aku ...."

"Aku minta maaf," gumam Kaivan. "Aku terbawa suasana dan berakhir dengan menciummu tadi. Aku minta maaf."

"Kamu memaksaku datang kemari, berbicara tentang bintang di langit dan sebagainya itu, menciumku, mengatakan kalau kamu sudah putus dari Meyra. Aku tidak mengerti apa maksud kamu melakukan semua ini!?" Aku memastikan pandangan mataku menyiratkan kesungguhan agar Kaivan tahu bahwa aku sedang tidak main – main dan aku tidak menolerir sama sekali kejadian yang tadi kami alami. Ciuman itu terasa sangat salah. Tapi, juga terasa damai. Ah! aku benci isi kepalaku yang bercampur aduk seperti ini.

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang