Aku bisa melihat argumentasi yang terjadi antara Bapak dan Kaivan dari balik kaca jendela meski tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Rasa penasaran semakin membesar di dalam dadaku tetapi aku memilih menuruti kata – kata Bapak untuk masuk ke dalam rumah alih – alih berdiri di sana menyaksikan apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan.
Dari mana mereka bisa saling mengenal? Aku tidak ingat bahwa mereka saling mengenal sebelum aku membawa Kaivan bertemu Bapak saat dia bilang ingin melanjutkan hubungan kami ke tahap yang lebih serius. Aku masih ingat bagaimana reaksi Bapak kala itu. Meski awalnya Bapak tampak dingin dan cuek pada Kaivan, mereka akhirnya bisa mengobrol dengan baik. Mereka membicarakan banyak hal, terutama tentang kota kecil tempatku bertumbuh dan juga perubahan – perubahan signifikannya sejak Kaivan meninggalkan tempat ini karena harus mengikuti orang tuanya pindah ke ibu kota provinsi. Dalam ingatanku akan masa depan yang pernah kujalani, Bapak tidak pernah tampak semarah itu pada Kaivan.
Aku tidak bersedia melepaskan tatapanku dari Bapak dan Kaivan termasuk ketika tiba – tiba mereka bersalaman dan berpelukan sekilas. Apa yang terjadi? Bukankah tadi mereka tampak sedang berdebat? Beberapa saat kemudian, Kaivan berbalik dan masuk ke dalam mobil sementara Bapak berjalan menuju ke pintu depan. Aku tidak sabar untuk menanyai apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara mereka berdua.
Ketika pintu depan terbuka, aku sudah akan menyemburkan rentetan pertanyaan, tetapi tak kusangka, Bapak yang terlebih dahulu menatap ke arahku dengan ketegangan yang masih tergambar jelas di wajahnya. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena detik berikutnya dia tersenyum.
"Ya ampun. Bapak salah orang, Git." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bapak. Terkesan ringan. Terlalu ringan untuk diarahkan kepada orang yang tadi sudah kamu gertak untuk pergi dari rumahmu.
"Apa!?" sahutku tak mengerti.
"Teman kantor kamu tadi, Bapak pikir salah satu mantan mahasiswa Bapak. Mirip sekali wajahnya."
"Gimana, Pak?" tanyaku masih bingung.
Bapak mendekat ke arahku, "Ada mahasiswa waktu Bapak masih mengajar dalu yang kurang ajar sekali. Bapak pikir si Kaivan itu dia."
Ada rasa tidak percaya yang menggelayut di benakku demi mendengar kata – kata Bapak. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana Bapak tampak murka saat melihat sosok Kaivan. Dan itu bukan reaksi normal dari seorang mantan dosen yang baru berjumpa kembali dengan mahasiswa bandelnya setelah beberapa tahun berlalu. Jika dihitung dari tahun 2017, Bapak pensiun hampir lima tahun yang lalu dari salah satu universitas swasta tempatnya mengajar. Sewaktu masih mengjar dulu, beberapa kali mahasiswa – mahasiswanya datang ke rumah kami mengantarkan tugas dan hubungan Bapak dengan mahasiswanya tersebut, seingatku, tidak ada yang begitu personal sehingga dia bisa merasa sakit hati atas sikap mereka.
Bapak bukan tipikal orang yang gemar menyimpan amarah apalagi dendam. Bapak adalah orang paling cuek sekaligus paling ikhlas yang aku kenal. Dia tidak pernah menyalahkan Mama atas tindakan Mama meninggalkan kami. Bebapa kali Mama datang kemari untuk menemuiku dan Bapak akan tidur di sofa sementara Mama menginap di kamar Bapak bersama adik – adik tiriku yang dibawanya. Aku tidak tahu dengan pasti apa penyebab perceraian Mama dan Bapak, yang aku tahu, komunikasi mereka masih terjalin dengan baik. Saat bertemu, mereka akan mengobrol seperti dua orang sahabat lama. Maka dari itu aku tidak heran kala Mama menangis sesenggukan di atas pusara Bapak.
"Istilah soulmate bukan hanya untuk sepasang kekasih atau pasangan suami istri. Bapakmu itu adalah soulmate Mama." Aku masih ingat sewaktu kuliah dulu, Mama pernah berkata seperti itu padaku.
"Tapi, kenapa Mama dan Bapak pisah?"
"Karena rasa sayang tidak ada hubungannya dengan pernikahan, Gita. Hanya karena kita menyayangi seseorang, bukan berarti harus berakhir di pernikahan. Begitu pun sebaliknya, jika kita menikahi seseorang, belum tentu kita bisa menyayangi orang itu terus."

KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOTING STAR
RomanceKaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya adalah palung yang bisa menenggelamkan. Sagita Riusara dengan senang hati tersesat dalam pesona pem...