Harapan yang Nyaris Hilang

235 49 12
                                    


Kami hanya menyantap mie instan yang dimakan dalam keadaan begitu hening. Nyaris tak ada topik yang kami bicarakan. Nyaris tak ada sepatatah kata pun yang terucap selain hal – hal seperti, 'mau pakai kecap?', 'pedas atau tidak?', 'mau teh atau kopi?' Kaivan tampaknya benar – benar ingin menghindariku. Tetapi kalau itu tujuannya, kenapa dia harus repot – repot datang kemari? Kenapa dia harus repot – repot datang hanya karena aku memintanya?

Saat kami kembali, Tante Salma menahanku di depan pintu ruang ICU. "Gita, Pak Arman sudah sadar. Tapi, sebaiknya kamu menemui Dokter Prana dulu karena dia sudah ada di ruangannya dan sedang menunggu pihak keluarga. Ruangannya di ujung koridor sana."

Aku menahan keinginanku yang menggebu – gebu untuk segera menjumpai Bapak – Bapak yang sudah siuman – dan dengan perasaan yang campur aduk berbalik pergi. Aku sudah tahu apa yang akan kuhadapi, aku sudah bisa menebak apa yang akan Dokter Prana katakan. Aku baru ingat bahwa dokter itu jugalah yang menangani Bapak sebelum Bapak meninggal di tahun 2020.

"Perlu aku temani?" tanya Kaivan.

"Ya," sahutku cepat. Aku tidak ingin sendiri mendengar vonis penyakit Bapak. Aku sudah melaluinya sendirian di tahun 2020. Aku tahu bahwa aku tidak akan sanggup melaluinya lagi saat ini seorang diri.

"Ayo." Kaivan memandangiku. Untuk pertama kalinya mata kami terpaut di bilangan waktu yang cukup lama. Cukup lama untuk membuatku merasa lebih tenang.

Kami berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit. Kali ini aku bisa merasakan Kaivan sengaja memelankan langkah untuk menyejajari langkahku. "Aku bingung harus mengatakan apa padamu saat ini," katanya tiba – tiba.

"Hm? Mengatakan apa?"

"Di saat seperti ini, orang – orang akan mengatakan kalimat penghiburan seperti, 'Tenanglah, Bapak akan segera sembuh', 'jangan khawatir. Bapak kamu akan baik – baik saja'. Tapi, aku tau kalau aku tidak akan mungkin mengatakan itu kepadamu."

Anehnya, aku bisa memahami apa maksud ucapan Kaivan meski dia tidak menjelaskannya secara terang. "Karena pada akhirnya Bapak tetap akan pergi?" tanyaku pelan.

"Dan katamu aku tidak datang pada pemakamannya," gumam Kaivan. "Hal itu sangat mempengaruhiku belakangan ini."

"Jadi, kamu percaya padaku? pada semua hal yang aku katakan? Meskipun kedengarannya tidak masuk akal?" Langkahku terhenti di depan sebuah pintu, yang menurut informasi Tante Salma, adalah ruangan Dokter Prana.

"Apakah aku punya pilihan lain? Lagi pula aku yakin kamu tidak mungkin hanya mengada – ngada," sahut Kaivan, "Tapi, kita tidak akan membahas hal ini sekarang, kan?" Kaivan menoleh pada pintu di belakangku.

Ya, Kaivan benar. Ada hal lebih penting lainnya yang harus aku hadapi saat ini dibandingkan seluruh rangkaian peristiwa perjalanan waktu yang sedang aku jalani.

"Apakah kita bisa mengubah kondisi yang terjadi pada Bapak di tahun 2020?" tanya Kaivan.

"Hal itu jugalah yang ingin aku ketahui," jawabku sambil menekan gagang pintu. "Selamat malam Dokter Prana. Saya Sagita, anak dari Bapak Arman yang sedang dirawat di ICU."

***

"Ada lepuh darah di jantung Bapak Arman." Dokter Prana memulai penjelasan usai perkenalan singkat kami.

Persis seperti itulah diagnosa yang aku dengar di tahun 2020. Penyakit itulah yang merenggut nyawa Bapak.

"Aku akan meresepkan obat untuk dikonsumsi. Kita lihat perkembangannya dalam satu bulan ke depan. Jika tidak ada perubahan, mungkin kita harus melakukan operasi," lanjut Dokter Prana.

SHOOTING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang