"Jujur, aku lebih suka kalau kamu bekerja." Adi menyerahkan tas ransel begitu sampai di depan gerbang rumah Arga. "Sebagai sahabat, aku ingin kamu lekas mencari wanita bukan datang ke makam meratap."
Arga menerima tas dan langsung memutar tubuh. "Justru kamu berhentilah memacari banyak wanita dan menikahlah. Jangan beralasan belum menemukan yang tepat."
Adi cekikikan. Sudah beberapa bulan tak saling adu debat. "Itu memang kenyataannya." Ucapan Adi tak dihiraukan , Arga langsung masuk ke gerbang. Sedang sahabatnya masih berdiri, sesaat sebelum memutuskan pergi.
Belum sempat mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya menyambut.
"Selamat datang, Mas." wanita yang memakai daster lengan panjang motif bunga, membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan tuan rumah masuk.
"Apa Mak sudah membersihkan kamar?" Arga melenggang masuk seraya mengedarkan pandangan. Menghidu aroma yang membuatnya selalu ingin pulang. Rumah.
"Tentu saja, Mas. Silahkan beristirahat." Walau mempersilahkan, nyatanya wanita itu masih mengekor.
Mendekati tangga, Arga menyerahkan tas ransel. Tanpa diminta, wanita itu paham dengan tugas agar mencuci baju kotor yang dibawa.
Sejak bekerja dan sering pergi keluar kota. Arga memutuskan memanggil pembantunya dulu untuk mengurus rumah. Mengingat tidak hanya sehari pergi, kadang berbulan-bulan. Tentu dia tidak mau rumah peninggalan ibunya menjadi rumah singgah kuntilanak. Menjual pun tidak akan melakukannya. Ada banyak kenangan tertinggal.
"Mas mau minum terlebih dahulu?" Masih di tempat semula, Mak Ris masih berdiri.
"Gak usah. Aku hanya ingin istirahat sebentar. Tolong jangan ganggu aku. Oh, ya apa pesananku sudah Mak cari?" Arga yang sudah menaiki anak tangga, terhenti sesaat dan menoleh.
"Sudah, Mas. Hanya bunga tabur saja bukan?" Wanita itu mendongak, memastikan pesanan yang sudah hafal di luar kepala.
"Iya, yang lainnya aku bisa cari sendiri." Arga tersenyum penuh makna lalu menaiki tangga.
"Baik, Mas. Silahkan beristirahat." Wanita itu membungkuk seolah mempersilahkan.
Langkah Arga yang tadinya sudah menaiki tangga kelima, seketika kembali tertahan. "Makan siang agak sore saja sekalian mau keluar."
Wanita yang mempunyai tahi lalat di dekat bibir itu mengiyakan permintaan dan melenggang pergi ke belakang membawa serta tas ransel.
Arga menaiki tangga. Bukan menuju kamarnya, tetapi milik Aksa. Begitu membuka pintu, sebuah bola basket yang tergeletak di atas ranjang seolah menyambut. Bayangan adiknya tersenyum dan memeluk berkelebat. Hanya sekian detik lalu menghilang.
"I'm home."
Dia mendekat dan duduk di tepi ranjang. Mengambil bola basket dengan penuh kerinduan. "Apa kamu tahu? Aku merindukanmu, Sa."
Setelah sedikit lega menuntaskan kerinduan, dia membuka gorden. Membiarkan cahaya masuk lewat kaca jendela. Pandangannya tertuju jauh ke depan. Di mana rumah dan pohon menjadi pemandangannya.
Memutar arah, Arga berjalan menuju ranjang lalu membaringkan dirinya setelah meletakkan kacamata. Bola basket diletakkan di samping kiri seolah tengah tidur bersama adiknya. "Sepi sekali rumah ini, tanpa kehadiranmu, Sa."
Dia tertawa kecil, memandang langit-langit kamar. Tangannya tergerak untuk mengambil dan meletakkan di dada. "Walau aku bekerja, nyatanya aku belum bisa menerima perubahan jika kamu sudah tiada."
Kali ini dia memiringkan tubuh, membiarkan bola berwarna orange yang penuh dengan tanda tangan meluncur turun kembali ke ranjang. Tidak lupa memberi pelukan seolah benda itu adalah adiknya. "Sa, nanti aku akan datang. Apa kamu senang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...