32. pertikaian

16 0 0
                                    

Terhitung sejak meninggalkan rumah Kia. Ponsel Arga mati. Berniat menenangkan diri juga mempertanyakan lagi tindakan yang membuat matanya enggan terpejam entah oleh apa. Bingung bagaimana menjabarkan apa yang ada dalam pikiran sekarang

Sarapan di hadapan tak menarik minat. Diletakkan sendok di atas piring lalu memundurkan kursi. Tubuhnya memang tak bertenaga, tapi berjalan sampai belakang masih kuat. Tujuannya sekarang adalah tepi kolam renang, duduk di pool chair. Merenungkan segala hal yang selalu menjadi kebiasaannya. Bertindak gegabah. Mengapa juga dia harus mengikuti amarah? Padahal Aksa dan Ibu tak pernah memintanya menuntut balas. Mengapa dia harus bertindak sok pahlawan, padahal adik juga ibunya sudah tenang di alam sana. Mengapa dia harus tak terima? Padahal semua yang terjadi sudah berada di satu waktu, masa lalu. Lalu apa yang didapatkan sekarang? Tak ada. Pun dengan kebahagiaan. Lalu apakah yang dilakukannya sia-sia? Entahlah, dia juga tidak tahu.

Dia mengusap wajah dengan salah satu tangan lalu Mak Ris datang menyuguhkan jus kesukaan, tomat dan wortel yang menjadi minuman di pagi hari. Seolah tahu suasana hati majikannya yang tengah berantakan, wanita itu melenggang pergi tanpa banyak bertanya.

Arga menghela napas panjang. Pandangannya beralih pada lapangan basket. Bayangan Aksa yang tengah tersenyum hadir lalu sebuah panggilan menyadarkan dari lamunan. Namun, bukan dari Aksa melainkan Adi.

Lelaki yang memakai kaos polo berwarna abu-abu berkacak pinggang di depan pintu dengan raut sebal. "Kenapa kamu mematikan ponselmu?"

Di belakang Mak Ris menunduk dalam seraya memegang salah satu lengan. "Maaf, Mas." Rautnya menunjukkan penyesalan telah membiarkan Adi mengganggu waktu tenang. Salahnya memang belum mengunci gerbang setelah Arga mengatakan jika hari ini tak ingin kedatangan tamu atau diganggu.

Seolah seluruh saraf di tubuh sudah menegang, Arga menjawab dengan isyarat tangan untuk segera meninggalkannya berdua saja. Tidak seperti biasa yang menggunakan senyuman bahwa semua aman terkendali. Tentu Mak Ris paham dan segera pergi.

Sedang Adi mendekat seraya berkacak pinggang tanpa rasa bersalah. Seolah sekarang kekuasaannya akan mempan digunakan menggertak. "Aku perlu memastikan sesuatu."

Arga memilih bungkam dan mengabaikan Adi yang menautkan kedua alis. Alih-alih bicara, sahabatnya justru minum jus yang sudah tersedia di meja. Belum juga pukul delapan pagi dan ketenangan yang dicari sudah terusik. Sialan. "Pulanglah! Aku sedang gak mau diganggu."

Adi tak peduli, meski penolakan selalu didapatkan dengan alasan tak mau diganggu. Dia mendekat, duduk di samping sahabatnya yang sama sekali tak ramah. "Ini bukan soal wanita, tenanglah."

Arga diam. Mau wanita atau pekerjaan, dia sedang tak peduli. Kalau bisa lebih baik segera pergi dari hadapan. Namun, demi menghargai kedatangan, mau tak mau berpura-pura mendengarkan adalah jalan terbaiknya.

Tak seperti biasanya yang suka berputar-putar sebelum ke inti. Kali ini Adi langsung, tanpa basa-basi. "Apa benar kamu mempunyai kenalan orang Cipta Buana?"

Arga tak menyangka, bukan tentang wanita yang ditanyakan. Justru hal yang tak pernah diduga sebelumnya. Demi bersandiwara, dia harus bersikap biasa.

Adi melirik saat mengatakan Citra Buana, tentu ada perubahan ekspresi walau hanya sesaat yang bisa ditangkap dari raut Arga. Sepertinya kemampuan yang didapatkan darinya sudah diserap sempurna. Bersandiwara.

Tak berhasil membuat bicara, dia kembali melanjutkan cerita. "Anehnya, kepala lapangan Lelio mengatakan kamu sudah menyuapnya agar gak memberi tahuku, jika orang yang berada di belakang penolakan pembukaan lahan adalah Ayahmu yang bekerja di Citra Buana."

Sudah beberapa bulan terlewat. Dia hampir melupakan masalah Lelio dan sekarang Adi justru kembali mengungkitnya. Memang mulut Khoiruddin tak bisa dipercaya. Disogok pun masih saja buka suara atau karena kurang lembaran yang diberikan.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang