37.repihan rasa (2)

22 1 0
                                    

Arga bangkit dan tersenyum. Sesuai dugaan, Kia masih tak berubah. Itu yang membuatnya menjatuhkan pilihan. Ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Dia yakin itu juga yang diwariskan dari sang ibu, sehingga bisa memikat ayahnya. Alih-alih mempertahankan istrinya.

Dia mempersilahkan Kia duduk. Ah, mengapa pandangannya tak bisa lepas begitu saja. Ini yang tak disukai dari pertemuan. Melepaskan dari jerat pesona. Menarik jangkar dari dasar lautan memang tak semudah saat menambatkan.

Kia duduk dan tersenyum manis. Seperti tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Tak ada mata bengkak. Sudah pasti karena sudah seminggu terlewat. Wanita itu sudah pasti bosan menangis atau mengutuk dunia juga dirinya yang berlaku tak adil.

"Bagaimana kabarmu?" Hal yang paling dibenci Arga adalah berbasa-basi. Tidak bisakah langsung ke inti dan pergi. Dia tak mau terlalu lama berdua, karena rasa itu sudah pasti kembali tumbuh di hatinya.

Kia tersenyum dengan pandangan tertuju pada Arga. Mengapa tak ada cacian atau makian? Justru lengkung tipis yang membuat semakin merasa bersalah.

"Seperti yang kamu lihat."

Tentu saja. Seharusnya Arga tahu hal itu. Setelah yang dilakukannya tentu tak akan mungkin baik-baik saja walau dari luar tak ada masalah. Bodohnya.

Mendadak dia diam. Entah oleh apa. Apakah ucapan Kia membuatnya semakin merasa bersalah? Bagaimanapun perbuatannya dilakukan dengan sengaja. Kedua pasangan yang pernah bersama itu sama-sama bungkam.

"Minumlah. Kamu pasti haus." Arga menjeda keheningan di antara mereka.

Kia menunduk, menyembunyikan wajah juga rona merah. "Ternyata kamu masih ingat minuman kesukaanku." Dia menarik minuman yang sudah lumer esnya ke hadapan sebelum mengaduk-aduk dan meminumnya.

Lalu keheningan kembali membekap mereka berdua. Atmosfer juga mulai berubah canggung.

"Jadi apa aku harus memanggilmu Kakak mulai sekarang? Oh, ya. Sepertinya gak mungkin. Bagimu, Aksa adalah satu-satunya adikmu." Seperti biasa, Kia akan bertanya lalu menyimpulkan sendiri.

Arga membenarkan, baginya Aksa adalah satu-satunya adik yang dimiliki. Tak ada yang lain. Dia tak perlu menegaskan lagi.

"Aku ... minta maaf atas apa yang kulakukan padamu." Arga akhirnya buka suara.

"Kamu gak salah."

Ucapan Kia membuat Arga membeliakkan mata. Mengapa? Bagaimana bisa? Dilihat dari mana saja pun, dia tetap salah.

"Jika di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal serupa." Kia menghela napas panjang seraya meremas dresnya. "Beberapa hari ke belakang, aku merenungi banyak hal. Termasuk perbuatanmu."

Kia tersenyum getir seraya menunduk. Ada begitu banyak hal yang ingin disampaikan setelah semua yang terjadi. Segala hal yang menjerat mereka. Takdir yang mempertemukan juga mempermainkan. "Justru seharusnya aku yang minta maaf padamu."

Arga tak pernah menduga, jika Kia akan meminta maaf. Untuk apa? Bukankah semua memang salahnya? "Kenapa kamu harus meminta maaf?"

"Tentu saja karena semua ini bermula dari Ibuku, Ga. Ayah sama sekali gak salah." Pandangan Kia tertuju pada Arga. Mencoba menyelam kembali ke dasar telaga di hadapannya. Masih sama seperti dulu. Meski sempat ada kabut dendam juga amarah.

"Saat itu, Ayah hanya bermain-main saja, gak pernah ada niatan untuk bercerai dari ibumu." Kia memulai cerita yang didengar setelah beberapa hari pertengkaran dalam keluarga mereka. "Menurut cerita, Ayah menginginkan seorang wanita yang mau di rumah dan melayaninya, sedang Ibu yang saat itu kerja juga sudah sangat lelah dan menginginkan menjadi wanita rumah tangga. Mengurus diriku yang saat itu masih kecil."

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang