Arga tengah mematut dirinya di depan cermin ketika sebuah panggilan berdering. Dari ekor mata, dia bisa melihat siapa yang berusaha menghubunginya. Adi. Berjalan ke arah nakas, dia segera mengangkat dan memencet tombol speaker.
"Aku sudah di depan."
"Rajin juga. Apa kamu salah minum obat."
"Perjalanan ke Semarang itu lama." Yang di seberang tidak menghiraukan sindiran.
"Lagian kenapa kita gak naik pesawat, apa kamu berniat pamer mobil baru sepanjang perjalanan."
Tawa Adi pecah. "Itu juga bukan ide buruk."
Arga terdiam. Hanya satu hal yang harus dilakukannya. Memakai jam tangan dan semua sudah selesai sempurna. "Seharusnya menunggu gak masalah buatmu 'kan?"
"Tenang saja. Bukankah sejak dulu aku selalu menunggumu? Sejak lulus kuliah."
Tawa yang menyebalkan. Dia segera mematikan panggilan dan melengkapi penampilan. Tidak lama keluar kamar. Menapaki anak tangga, pembantunya mendekat. Dia berpesan akan pulang malam seperti biasa yang dijawab dengan anggukan dan mengantar ke gerbang.
Arga keluar disambut Adi yang bersandar pada badan mobil. Dia berjalan mendekat dan masuk tanpa banyak bicara. "Aku hanya ingin mengajakmu jalan-jalan biar gak kesepian."
"Aku sudah biasa." Arga memakai sabuk pengaman.
Adi tersenyum sinis. Ucapan Arga memang ada benarnya. Sudah dua tahun sejak kepergian Aksa dan mungkin memang sudah terbiasa. Hanya saja sebagai sahabat yang juga menyedihkan, dia merasa prihatin. Bukannya menikah atau mencari wanita, sahabatnya justru sibuk bekerja.
"Apa kamu bertemu wanita dalam liburan kali ini?" Adi segera memacu mobilnya, meninggalkan daerah Sleman menuju Semarang. Melewati jalur Magelang. Kali ini tujuannya sebuah hotel terkenal yang berada di tengah kota Semarang. Sengaja mengambil hari kerja agar tidak ada yang curiga jika bertemu di restoran.
"Tentu saja."
Wajah Adi tampak berbinar, menganggap Arga sudah mulai membuka hati. "Siapa dia? Kenapa kamu gak mengenalkannya padaku?" Adi begitu antusias ingin mendengar cerita Arga yang menurutnya membosankan juga menyedihkan.
"Apa kamu yakin mau berkenalan dengannya?"
"Apa dia cantik? Selama ini aku penasaran dengan tipemu."
Arga tertawa kecil, menyadari sahabatnya mudah terpancing jika sudah menyangkut wanita. Entah karena peduli dengannya atau sekedar penasaran. "Ya, dia penjaga bunga, pelayan toko, kasir, spg." Dia menyebutkan berbagai profesi yang sering ditemuinya kala keluar.
Wajah Adi yang tadinya berbinar seketika masam. Sadar jika pertanyaan awal sudah salah. "Ok, fine. Terserah kamu."
Arga tersenyum tipis dan mereka berbincang selama perjalanan. Ada saja yang menjadi topik mereka. Tentu saja Adi yang lebih mendominasi cerita. Selain pekerjaan, apalagi jika bukan wanita. Selain tampang yang lumayan mendukung, tentu saja uang yang selalu memberinya akses lebih pada wanita.
Sebenarnya Arga sudah pada tahap muak mendengar cerita yang sama tentang sahabatnya. Bagaimana Adi menghabiskan waktu dengan bersenang-senang bersama wanita. Baginya tindakan itu sudah di luar batas atau dirinya yang terlalu kuno memegang teguh prinsip.
"Bersenang-senanglah selagi bisa." Adi memberi nasihat agar Arga lebih menikmati hidup. Apalagi setelah kepergian Aksa yang membuatnya terpukul.
Bagaimana bisa bersenang-senang jika tubuh menolak semua energi dari wanita? Jika Arga melakukannya bukankah dia sama dengan ayahnya? Dan poin terpenting, dia tidak suka disamakan. Lagipula prinsipnya adalah seks setelah menikah sebagai penghargaan kepada wanita. "Jangan samakan aku denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...