Satu jam lebih Arga dan Rahmat akhirnya sampai di mess yang berada di desa Sumbersari, Konawe Selatan. Hanya rumah pemukiman warga biasa yang disewa. Merangkap sebagai kantor selama masa kerja yang tinggal beberapa bulan. Mengingat pembukaan lahan menuju desa tambolosu sudah mencapai lima puluh persen.
Bangunan semi permanen berukuran 15x8 meter dengan empat kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, ruang santai dan ruang tamu yang diubah sebagai ruang kerja. Berada di pinggir jalan dan terletak di pojok desa. Tepat rumah terakhir. Lampu tidak terlalu terang, tetapi cukup kelihatan jika ada penghuni di dalamnya. Tidak ada plakat jika keberadaan mereka sebagai badan usaha yang tengah membuka jalan berdiri di depan pagar. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali warga sekitar.
Begitu datang, beberapa karyawannya sudah di kamar meski ada juga yang menunggu kedatangannya. Rahmat segera menurunkan segala keperluan untuk di dapur juga spare part alat berat dibantu Danang, tentu saja.
Sedang Arga sendiri memilih langsung ke kamar, membersihkan diri dan berganti pakaian yang lebih santai. Setelah Rahmat juga Danang sudah mengeluarkan semua dan bersiap kembali ke kamar, dia datang seraya memberikan oleh-oleh. Hanya keripik ceker, belut, undur-undur goreng juga bakpia khas Jogja.
"Khusus buat aku mana, Bos?" tanya Rahmat tanpa rasa bersalah. Dia duduk di kursi meja makan, membuka oleh-oleh bakpia dan memakan tanpa menunggu rekan yang lain.
Danang, lelaki berusia 35 tahun segera memukul tangan Rahmat yang celamitan.
Arga duduk bersama dan memperhatikan keributan yang terjadi antara Rahmat dengan Danang. "Lha bukannya tadi sudah aku kasih, ya!"
Rahmat yang tidak merasa mendapatkan jatah lebih, menoleh ke arah Arga. "Kapan Bos?"
"Tadi bolu bakar."
"Beda itu, Bos!" Rahmat tidak terima. Dia terus saja menyuarakan protesnya hingga rekan kerja yang lain datang. Dua orang lelaki yang bertugas sebagai operator alat berat. Yang satu kurus dengan kumis tipis, Hadi. Berusia 28 tahun. Satu lainnya bertubuh besar, perutnya buncit berusia 46 tahun, bernama Juna. Mereka duduk bersama, menikmati oleh-oleh yang Arga bawa. Tentu saja diselingi cerita mengenai pekerjaan juga hal receh yang terjadi selama tidak ada dirinya. Lalu waktu bergulir semakin malam.
Rahmat yang pertama kali menguap dan minta izin kembali ke kamar. Disusul rekan yang lainnya. Sedang Arga sendiri masih belum beranjak.
Dia mengambil kopi hitam yang dibuat Danang, menghabiskan tegukan terakhir. Di meja, oleh-olehnya sudah tidak tersisa. Sembari memindai ruangan yang sudah dua minggu ditinggalkan, dia menghela napas. Sama seperti Jogja. Tempat itu juga istimewa baginya. Setidaknya ada yang menunggu. Walau itu bukan sebuah senyuman, tapi perintah dan omelan.
Tanpa berniat mencuci gelasnya, Arga kembali ke kamar. Di ranjang tanpa dipan, ponselnya belum tersentuh sejak datang dari bandara. Sebuah pesan dari Kia masuk, tetapi matanya sudah tidak kuat terjaga. Baru saja membuka, tubuhnya yang sudah berbaring di ranjang langsung terbawa ke pulau mimpi.
Keesokan pagi, setelah sarapan. Arga mengadakan briefing singkat bersama anak buahnya. Hanya harapan agar bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu tanpa banyak hambatan dan meminta adanya komunikasi jika terjadi masalah di lapangan. Tidak lupa mengingatkan masalah keselamatan kerja.
Begitu selesai, Arga beserta anak buah segera berangkat menuju lokasi. Menyisakan Danang di mess yang bertugas menyiapkan makan siang.
Lokasi pembukaan jalan berada sekitar sepuluh kilo meter dari mess. Jalanan hanya tanah biasa yang dipadatkan, hasil pembukaan hutan dan belum diaspal. Begitu sampai operator alat berat mengecek kesiapan mesin sebelum beroperasi. Setelah memastikan dalam posisi aman dan terkendali, pekerjaan langsung dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...