Arga memandang tidak percaya, Danu dan Damar sudah bersiap dengan tas ransel mereka. Setelah teleponnya beberapa hari yang lalu, dia langsung datang ke rumah mereka. Menanyakan lagi keputusan yang mereka perbuat. Tanpa keraguan, Damar menerima tawaran yang diberikan. Menjadi anak asuh dan ikut ke kota.
Arga tidak tahu bagaimana mengungkapkan betapa bahagia dengan jawaban Damar. Dia segera meminta beberapa berkas yang harus diurus untuk mencari sekolah baru di kota. Selama beberapa hari dia terpaksa membuat kedua kakak beradik itu menunggu dan berjanji akan menjemput setelah semua selesai. Dia juga tidak mengizinkan Damar bekerja dan menyuruh menata keperluan yang dibawa nantinya.
"Kamu melakukan yang terbaik, Mar." Ucapan Arga tidak mendapat tanggapan Damar.
"Om bener mau sekolahin Kakakku kan?" tanya Danu ketika berjalan beriringan menuju mobil.
Arga mengangguk membenarkan. Begitu tiba di mobil dan hendak masuk. Kedua kakak beradik itu menengok ke belakang. Ada keengganan untuk meninggalkan tempat yang sudah memberinya kenangan. Kejadian hanya berlangsung sebentar karena pada akhirnya mereka kembali menatap ke depan. Pada harapan yang diberikan oleh Arga.
Mobil bergerak meninggalkan desa kecil yang berada di pojok kota Jogja. Terus berputar seperti cerita mereka. Dan tiba di Sleman pukul sebelas siang.
"Wah, rumah Om besar sekali." Danu berdecak kagum ketika turun dari mobil.
Arga tertawa kecil melihat kehebohan Danu. Mereka berjalan masuk disambut Mak Ris.
"Kamar sudah disiapkan Mak?" tanya Arga seraya menggandeng Danu yang masih saja mengagumi rumah yang akan ditempatinya.
Mendengar jawaban Mak Ris, Arga berjalan menuju lantai dua. Di belakang, Damar mengikuti langkah.
"Bagus banget rumah, Om." Danu tidak bisa menahan diri untuk diam walau Damar sudah memperingatkan sebelumnya.
Menginjak lantai dua, dia membawa kedua kakak beradik ke kamarnya dulu. "Kalian di kamar ini dulu untuk sementara." Dia membuka pintu lebih lebar.
Kedua kakak beradik itu masuk dan semakin terpana. Melihat kasur empuk yang tidak pernah dibayangkan. Meja belajar yang kokoh juga pendingin ruangan yang langsung membuat mereka kedinginan.
"Nanti aku masuk angin gak, ya kalau pakai AC terus," ucap Danu membuat Arga tertawa kecil.
Seperti biasa respon Damar tidak seperti yang diharapkan Danu. Hanya diam seraya memperhatikan.
Arga menyuruh kedua kakak beradik itu meletakkan baju di lemari dan lekas turun untuk makan siang bersama. Tentu hanya Damar yang menjawab dengan anggukan karena Danu terlalu heboh dengan hal baru yang dilihatnya.
Arga keluar dan turun ke lantai satu. Meminta Mak Ris menyiapkan makan siang, sedang dirinya duduk di ruang santai yang berada di sebelah ruang tamu. Mendengarkan celotehan Danu yang terdengar dari bawah.
Senyum tipis menghiasi wajah. Sudah lama rumahnya tidak seramai sekarang. Ada kehangatan yang dirindukan dan menjalar di hati.
Tidak lama Mak Ris menyiapkan makan siang, Danu dan Damar turun bergabung bersama. Arga melihat baju kedua kakak beradik yang sudah berganti, tetapi tidak ada yang berbeda. Warnanya sudah memudar dengan gambar yang tidak kelihatan.
"Wah, Mas. Ada udang." Danu yang duduk di kursi langsung berdiri, menatap tidak percaya makanan di hadapan mereka adalah udang yang cukup besar.
"Jaga sikapmu, Dan!" Damar melirik Danu yang tidak menggubris perintahnya.
"Ambil saja, Dan." Arga tersenyum senang melihat raut wajah Danu yang kegirangan saat dipersilahkan.
Tangan Danu mencomot satu dan meletakkan di piringnya. Lalu acara makan siang mereka lanjutkan. Ah, rasanya Arga benar-benar menyukai momen seperti ini. Kapan terakhir makan bersama dengan seseorang yang sudah dianggap keluarga? Sepertinya sudah sangat lama. Terakhir adalah bersama Aksa. Itu pun sebelum membawa Aksa ke rumah sakit.
"Setelah ini kita pergi yuk."
"Ke mana?" Danu begitu antusias. Dia menatap penuh tanya pada Arga.
"Membeli perlengkapan sekolah kalian."
"Gak usah. Tas kami masih bagus." Damar menolak tegas.
"Itu adalah tas kenangan kalian. Simpan saja. Jangan sampai rusak."
Arga tahu, Damar hanya tidak ingin merepotkan. Dia tahu ada beban berat ketika menerima tawaran. Dua sisi yang saling bertentangan. Demi adiknya juga utang budi. Namun, dia sudah menegaskan berulang jika bantuannya bukanlah utang budi, tetapi ketulusan. Tidak perlu merasa terbebani.
Setelah makan siang, mereka segera menuju mobil. Roda berputar menuju sebuah mal terbesar di Jogja. Danu masih saja udik dengan hal baru yang dilihatnya. Gedung tinggi, pakaian bagus, aroma yang enak.
Tiba di sebuah departemen store, Arga meminta kedua kakak beradik itu memilih baju sesuai ukuran. Namun, yang terjadi mereka justru hanya melihat dan tidak berminat mengambilnya.
"Cari di pasar saja, Om. Yang murah. Kasihan nanti uangnya habis." Danu akhirnya menjelaskan mengapa tidak lekas mengambil.
Tawa Arga pecah. Betapa lucunya kedua kakak beradik itu yang masih saja memikirkan harga.
"Ambil saja. Om masih bisa kerja. Kalau uangnya habis nanti masih gajian." Arga meyakinkan.
Sudut bibir Damar terangkat. Sudah pasti senyum sinis itu ditujukan untuk kepongahan Arga yang menganggap bukan masalah besar mengenai harga. Jauh berbeda dengan mereka yang sangat menghargai sekecil apapun nominal. Berjam-jam mereka hanya berputar. Danu dan Damar masih saja tidak bisa mengambil apalagi saat melihat harga yang tertera.
Karena tidak kunjung memilih, terpaksa Arga turun tangan. Diambil beberapa kaos, celana santai juga celana panjang setelah mencocokkan di tubuh mereka lalu membawanya ke kasir.
Melihat total yang harus dibayar Arga, membuat Damar dan Danu saling berpandangan. Sangat mencengangkan melihat nominal yang setara dengan entah berapa tahun pendapatan mereka menjadi anak buah Pak Wahyudin.
Arga menyerahkan empat buah paper bag pada Damar dan Danu dan keluar. Berpindah tempat. Kali ini mereka masuk ke sebuah toko yang menjual alat perlengkapan sekolah.
Danu dan Damar kembali tercengang. Melihat tas yang dipajang, jauh berbeda dengan yang mereka bawa. Belum lagi tumpukan buku, pensil dan berbagai perlengkapan yang jauh dari bayangan.
Segera dia meminta kedua anak asuhnya memilih dan mengambil apa yang diperlukan tanpa melihat harga. Sebuah tas ransel yang memiliki roda dengan gambar menarik dipilih Danu, sedang Damar memilih tas ransel biasa.
Setelah mendapatkan semua yang diinginkan, Arga segera membayar dan hal itu kembali membuat kakak beradik menelan ludah. Arga tidak main-main dengan mereka.
Damar bisa melihat ketulusan yang sempat diragukan sedari awal. Namun, apa yang diberikan padanya juga menjadi beban tersendiri bahwa dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.
Arga memberikan tas yang sudah diisi dengan berbagai perlengkapan dan meminta mereka membawanya. Bukannya dia tidak mau membantu, hanya saja ingin melihat raut bahagia saat mereka menerima pemberiannya.
"Makasih, Om." Danu memberi sebuah pelukan yang membuat Damar harus mengalihkan pandangan. Ya, dia iri. Karena justru orang lain yang memberikan kebahagiaan pada adiknya, bukan dirinya.
Mereka keluar dari toko dengan kebahagiaan memenuhi dada. Melihat kedua anak asuhnya di depan begitu senang menerima pemberian. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dan digambarkan. Mungkin hampir sama saat memberikan untuk Aksa.
Danu dan Damar berjalan menjauh, meninggalkan Arga yang justru terpaku di depan toko. Sebuah lengkung tipis merekah di bibir lelaki berkacamata. Lalu sekelebat bayangan Aksa hadir.
"Sa, mungkin aku belum bisa mengabulkan permintaanmu untuk menikah dalam waktu dekat. Kamu gak marah bukan? Sebagai gantinya, aku akan berusaha untuk menjadi Ayah yang baik. Setidaknya bagi mereka. Apa kamu senang mendengarnya?" Melihat dirinya tertinggal lumayan jauh, Arga segera menyusul kedua anak asuhnya yang berhenti menunggunya.
Dari jauh, seorang wanita sedari tadi memperhatikan Arga. Bahkan saat di dalam toko. Senyum penuh kebanggaan mengembang di bibirnya. Cukup lama dia memandangi punggung lelaki itu sebelum berlalu pergi.
~Tamat~
Terima kasih yang sudah mengikuti cerita Arga.
Kisah Danu dan Damar ada di cerita My beloved brother. Silahkan jika berminat mengikuti
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...