3. kehilangan tujuan

21 1 4
                                    

"Apa yang ingin kamu lakukan jika semua ini selesai, Sa?"

Aksa yang duduk di tepi ranjang tertawa. "Kamu tahu itu tidak mungkin, Kak. Apa Kakak tidak paham siapa lawannya? Kanker otak. Jika kanker yang lainnya, kemungkinan sembuh memang lebih besar."

Arga yang berdiri memandang ke luar jendela, menunduk. Menyembunyikan wajah sendunya. Beberapa jam lagi Aksa akan menjalani operasi. Besar harapannya jika adiknya akan lekas pulih sepenuhnya, walau dia tahu tak semudah itu jalannya. "Semua kemungkinan bisa terjadi, meski hanya tiga puluh persen. Bukankah itu juga berarti masih ada harapan? Anggap saja malaikat sedang tidak minat dengan nyawamu."

Aksa kembali tertawa. Dia merebahkan tubuh di ranjang seraya memandang langit-langit kamar.

"Bayangkan saja! Siapa tahu menjadi kenyataan." Arga ingin tahu. Ingin tahu semua yang diinginkan juga dipikirkan oleh adiknya. Karena jika waktu mengizinkan, dia akan mengabulkan semuanya. Tak terkecuali.

"Yah, aku sedang membayangkannya karena mungkin beberapa bulan ke depan, aku sudah lupa."

Arga masih bergeming di tempat semula. Semenit, dua menit hingga lima menit berlalu dan Aksa masih belum buka suara. Penasaran apakah adiknya tertidur, dia memutar tubuh. Menyadari adiknya memandangnya sedari tadi.

"Bolehkah nanti aku kuliah di sekolah pilot? Biayanya tidak murah, makanya aku minta izin dahulu, bagaimanapun keinginanku akan menjadi beban bagimu."

"Kenapa harus pilot?"

"Karena aku pasti terlihat keren dengan seragam itu." Aksa tertawa. Hanya sesaat saja menganggap ucapannya lucu padahal Arga tak memberi respon seperti keinginannya. "Aku hanya ingin menjelajahi semua tempat baru dan yang terpenting, membayar utangku padamu."

"Utang apa? Justru aku yang berutang. Lagipula Ibu sudah menyiapkan tabungan pendidikan untukmu."

"Ya sudah. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan bersama."

Arga menghela napas panjang, melihat sebuah pesawat lepas landas. Terbang membumbung tinggi meninggalkan daratan. "Seharusnya kamu sudah sekolah, Sa."

Di tepi pantai Glagah, sebuah pantai yang berada di kabupaten Kulon Progo, Arga yang setiap libur hanya kembali ke tempat di mana dihabiskan bersama adiknya. Hampir semua pantai di sepanjang pesisir selatan selalu disinggahinya. Kembali menghidupkan kenangan tentang kebersamaan mereka. Dia tak ingin membiarkan kenangan itu memudar karena hanya sedikit yang dimilikinya.

Duduk di atas pasir pantai seraya menikmati pemandangan gunung yang menjadi latar bandara Nyi Ageng Serang. Di belakang, suara ombak berdebur dengan angin yang terus menamparnya untuk kembali ke kenyataan. Namun, Arga masih bergeming di tempat yang sudah hampir dua jam dia duduki. Membuang waktu dengan melihat lalu lalang manusia yang membawa tawa.

Hari beranjak siang, tapi Arga masih asyik dengan kenangan dengan adiknya. "Sendiri itu terkadang menyeramkan, Sa. Dan penyakitmu sudah menjangkitiku. Mengapa aku menjadi melankolis setiap pulang? Benarkah kesepian mampu menenggelamkan logika." Dia bermonolog seolah alam akan menjawab pertanyaannya. Sayang baik angin, rumput, pasir juga hangatnya matahari tak pernah memberi tahu jawaban.

Arga beranjak bangkit menuju mobil. Setelah mencukupkan nostalgia di tempat itu, kali ini tujuannya makan siang. Sate kelinci kesukaan Aksa yang berada di jalan lintas provinsi Jogja dengan Purworejo, tak jauh dari jalan masuk ke Pantai Glagah. Setelah memesan dan menunggu beberapa lama, hidangan makhluk imut yang bahkan Aksa dulu tak pernah dicicipi akhirnya datang. Beralasan seperti manusia serakah yang memakan segala macam, adiknya menolak kala dirinya mengajak mencoba pertama kali. Hingga akhirnya dia menjejali sepotong ke mulut dan ternyata tak seburuk yang dibayangkan. Selain menikmati hidangan, tentu saja dia kembali menghidupkan Aksa dalam dada.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang