Seharian ini Adi terus memantau Arga yang menurutnya sedikit aneh sepulang dari Jakarta. Sedari tadi hanya berkutat di depan pekerjaan. Bahkan ketika mengantarkan berkas, tak ada gurauan seperti biasa. Ketika jam makan siang juga tak keluar bersama Kia. Benar-benar aneh.
"Tumben kamu gak makan siang bareng?" Adi datang menjelang waktu pulang kerja dan duduk di depan Arga yang masih berkutat di depan layar.
Arga paham, sedari tadi sahabatnya curiga dengan gelagatnya yang memang di luar kebiasaan. Dia hanya melirik sekilas lalu melanjutkan pekerjaan membalas pesan email. "Gak ada yang menggantikan posisiku selama tiga hari, tentu saja pekerjaanku menumpuk."
Adi membenarkan, memang selama tiga hari tak ada yang memback up pekerjaan Arga. Walau ada beberapa berkas yang langsung diberikan padanya, dia juga membiarkan begitu saja. Menganggap masih bisa menunggu.
Tak ada pembicaraan lagi, Arga terlampau sibuk untuk mengajak bicara sahabatnya yang sengaja melimpahkan berbagai macam tanggung jawab padanya. Bahkan urusan persetujuan yang seharusnya bisa langsung tembus ke Adi.
Dalam keheningan, hanya suara tuts keyboard juga detak jarum jam. Dinginnya suasana di antara mereka seperti embusan AC ruangan yang membuat Adi tak betah. Dia ingin menggoda Arga.
"Gimana jadi gak besok? Aku sudah memesankan tempatnya. Dekat dengan hotel." Adi tersenyum menang. Dia yakin kali ini Arga akan menghentikan kegiatannya. Lagipula sudah mendekati jam pulang. Masih saja sok loyalitas tanpa batas. Di satu sisi menguntungkan, tapi sebagai seorang sahabat tentu dia merasa sudah keterlaluan.
Benar, sesuai dugaan Adi. Arga langsung terpaku sesaat. Lalu embusan napas panjang terdengar bersamaan dengan kursi yang sedikit mundur ke belakang. "Menurutmu?"
Adi mengibaskan tangan. Dia cukup yakin Arga hanya membual saja. "Gak yakin aku kamu berani." Sudut bibir sang sahabat terangkat, sengaja agar temannya berpikir tengah meragukan nyalinya.
"Kita lihat saja nanti." Arga menjawab tantangan tanpa keraguan dan kursinya sudah merapat lagi ke meja. Tak lama suara tuts keyboard kembali berbunyi.
"Kapan rencanamu melamarnya?"
"Mungkin Sabtu ini." Fokus Arga bahkan tak terpecah mendengar kata lamaran. Tangannya masih lincah menekan huruf demi huruf.
Adi menghela napas panjang dengan pandangan menerawang. "Jadi kamu akhirnya bahagia. Aku entah kapan."
Mendengar kata bahagia, tangan Arga langsung terhenti mengetik. Sorotnya seketika berubah sendu. "Menurutmu apa itu bahagia?"
Adi menoleh ke Arga yang menanyakan hal aneh seperti itu lalu tawa kecil terdengar. "Kamu itu kenapa, ta. Kok kayak kesambet setan. Tanya bahagia segala."
"Aku hanya tanya. Lagipula kita sudah lama gak berdebat."
"Ya, itu karena kamu pacaran terus. Mentang-mentang bahagia."
"Jadi apa menurutmu bahagia?" Arga mengulang lagi pertanyaan karena Adi justru tak langsung menjawab dan berputar-putar.
"Bahagia, ya." Adi sejenak berpikir untuk merangkai kalimat. Seharusnya dulu masuk ke jurusan filsafat alih-alih belajar ilmu bisnis yang tak digunakan sama sekali. "Sudah pasti bahagia itu bisa mendapatkan apapun yang kamu inginkan."
"Jadi saat kamu gak bisa mendapatkannya, maka kamu gak bahagia?"
"Ya, sudah pasti itu."
"Jadi bahagia adalah suatu keegoisan bukan?"
"Tentu saja."
"Lalu kenapa kamu dulu menerima keputusan orang tuamu jika kamu bisa egois menentukan jalan hidupmu sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
Roman d'amourSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...