28. jalan menuju rencana

5 0 0
                                    

"Kak."

Panggilan lemah dari Aksa membuat Arga beranjak dari duduknya. Dia mendekatkan telinga agar bisa mendengar dengan jelas ucapan adiknya yang beberapa hari ke belakang semakin tak jelas.

"Apa, Sa? Apa kamu mau minum?"

"Gak ... ku ... at."

"Gak! Kamu gak boleh menyerah, kamu sudah berjuang sampai sejauh ini dan Kakak yakin kamu bisa melewatinya." Arga melihat Aksa yang berusaha menggerakkan kepala dengan susah payah. Seolah ingin menyalurkan kekuatan, dia memegang tangan adiknya dengan erat.

Sudah beberapa hari, Aksa kesulitan membuka mata. Sudah bisa dipastikan otaknya juga kesulitan untuk mencerna ucapan ataupun fokus. Masih beruntung tak menceracau seperti beberapa hari sebelumnya.

"Ca ... pek."

"Kamu sudah berjanji akan menemani kalau menikah nanti dan Kakak akan memastikannya."

"Ma ... af ... ma ... af." Air keluar dari sudut mata Aksa.

Arga yang berusaha menahan gejolak emosi seketika pecah air mata. Dia mencium punggung tangan Aksa.

"Gak, Sa." Arga menyentuh pipi Aksa seraya menggigit bibir. "Kita akan melakukan banyak hal, berkeliling pulau Jawa. Dan kamu juga akan sekolah lalu menjadi pilot. Apa kamu dengar itu, Sa?! Sa! Sa!"

Arga terlonjak dari tidur dan mendapati perasaannya berkecamuk tak karuan. Ada waktu di mana kenangan tentang Aksa yang begitu menyayat jiwa, hadir dalam mimpi. Seperti kali ini.

Dia menutup wajah dengan salah satu tangan dan tubuhnya bergetar hebat. "I'm so sorry, Sa."

Dia tak bisa menahan kesedihan kala kenangan itu datang. Percakapan terakhir sebelum Aksa tak lagi merespon. Melihat bagaimana perjuangan adiknya melawan penyakit yang menggerogoti tubuh, tangisan permintaan maaf juga harapan untuk hidup lebih lama. Dan dia gagal bertarung dengan takdir Tuhan. Bahkan doanya juga tak dikabulkan.

Setelah lebih tenang, dia beranjak menuju kamar mandi. Mencuci muka yang sudah pasti berantakan. Sejak kejadian mengetahui siapa Kia. Ingatan samar tentang adiknya kembali muncul ke permukaan, seolah memintanya untuk menuntaskan rasa kecewa yang tak pernah tersampaikan.

Menyambar handuk putih untuk mengelap wajah lalu meletakkan kembali di tempat semula. Setelah berulang kali meredam rasa sakit akibat ingatan, dia kembali ke kamar. Pandangan tertuju pada jam yang sudah beranjak pukul sembilan. Sepertinya dia ketiduran setelah sarapan akibat semalam begadang memikirkan rencana.

Langkahnya menuju jendela, membuka gorden. Membiarkan sinar matahari masuk menembus jendela. Membawa kehangatan, setidaknya hanya untuk raga, tidak untuk hatinya yang kembali membeku.

Kali ini dia ingin bersantai. Menikmati waktu yang beberapa minggu terbuang percuma demi cinta yang salah alamat. Menuruni anak tangga, Mak Ris heran melihat majikannya tidak serapi biasa. Maksudnya masih memakai kaos dan celana santai, seperti tak ada tanda akan keluar untuk kencan padahal hari Minggu.

"Tumben Mas gak keluar?" tanya Mak Ris ketika Arga sudah menginjak lantai satu.

"Besok aku pergi, jadi mau santai hari ini. Tolong buatkan jus ya, Mak." Arga melewati Mak Ris dan berjalan menuju kolam renang.

"Baik, Mas." Mak Ris bergegas menuju dapur, membuatkan pesanan. Jus tomat dengan wortel. Ditambah cemilan kacang mede goreng dan rempeyek.

Arga langsung duduk bersantai di pool chair. Ada mendung yang menggantung di langit, membuat suasana tak terlalu terik. Dia sengaja tak membuka payung penutup, agar tubuhnya disinari walau hanya sebentar karena tak tahan jika harus berkeringat.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang