"Kamu yakin dengan keputusanmu kali ini?" tanya Adi begitu tiba di bandara Sultan Hasanuddin Makasar. Mereka berjalan beriringan setelah turun dari settle bus. Dia melirik Arga. Seharusnya dia tak perlu menanyakan. Jika sahabatnya sudah berkehendak, sudah pasti tak ada yang bisa menghalanginya. Pun dulu saat memutuskan bergabung ke perusahaan dan memilih kerja di lapangan. Dia pikir hanya sekedar mengalihkan duka. Kenyataan sahabatnya berusaha meredam rasa sakit dengan bertemu orang baru. Mengalihkan rindu yang selalu terpupuk kala pulang ke rumah dan mendapati hanya kesendirian yang selalu menyambutnya.
"Ya, kapan aku bisa mendapatkan kabar kepindahanku?" Mereka berjalan menuju ke bagian transit dan mengeluarkan kembali boarding pass.
"Berapa waktu yang kamu butuhkan?" Adi meletakkan seluruh barang di kotak yang akan masuk ke mesin pemindai dan menuju pintu pemeriksaan. Dia menaikkan kedua tangan ketika petugas hendak melakukan kewajibannya.
"Secepatnya." Arga yang sudah lebih dulu, mengambil tas, ponsel juga ikat pinggang dan berjalan agak menjauh. Disusul Adi yang kerepotan dengan barangnya. Dia segera menyusul sahabatnya yang sudah naik ke tangga berjalan.
"Akan kukabari setelah berdiskusi dengan Mbak Tuti. Bagaimanapun aku harus mencari penggantimu terlebih dahulu. Ini bukan perkara yang mudah." Adi menjelaskan panjang lebar seraya menenteng tas ranselnya.
Arga berdeham. Dia paham. Ada prosedur yang tetap harus dijalani kala dia meminta pindah. Walau memang akan mendapatkan hasil yang lebih cepat karena ada permintaan dari Adi. Sesampai di lantai dua, mereka berjalan mencari nomor gate sesuai tujuan. Adi menuju Jogja dan Arga menuju Kendari.
"Jam berapa penerbanganmu?" tanya Adi seraya melihat jam di pergelangan tangan yang baru menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit pagi.
"Masih jam dua. Bagaimana denganmu? Apa kamu harus menginap dulu untuk mencoba wanita bugis?" Seperti biasa, Arga akan menyindir sahabatnya. Sekedar mengalihkan pembicaraan yang menegang sejak menjejak kota Makasar. Langkah mereka terhenti sesaat dengan lirikan sinis khas Arga.
"Iye, sepertinya ide bagus. Sayang penerbanganku setelah ashar. Paling gak harus sehari semalam." Adi tertawa puas, entah oleh apa. Apakah menggoda sahabatnya yang jelas-jelas menunjukkan raut muak padanya adalah sebuah kemenangan. Namun, dia suka. Semakin lama sindiran dari Arga, maka dia juga akan semakin tertantang lebih untuk mengalahkan. Ya, walau hanya dalam hal yang tidak penting sama sekali. Tawa Adi memelan sejurus dengan diamnya Arga. "Bagaimana kalau kita makan siang lebih dulu?" Dia melihat jam di pergelangan tangan seraya mengetuk-ngetuk bagian atas. Dengan isyarat mata, Arga menjawab jika dirinya tak keberatan.
Adi melangkah pergi menuju salah satu restoran berbahan dasar bebek yang berada di tengah ruang tunggu. Di belakang, Arga menyusul langkah dan duduk bersama. Kali ini, tak ada lagi perbincangan tentang pekerjaan. Mereka duduk sebagai sahabat dan menikmati waktu hingga berpisah.
Arga pergi ke gate 5 setelah makan siang, meninggalkan Adi yang masih harus menunggu beberapa jam sebelum terbang ke Jogja. Tentu sebelumnya dia sudah memberi tahu Rahmat akan datang selepas ashar jika tidak mengalami hambatan. Beruntung kali ini dia tak harus turun dan naik shuttle bus, karena garba rata langsung terhubung ke pesawat. Setelah meletakkan tas ransel dan duduk menunggu sekitar hampir dua puluh menit, akhirnya pesawat lepas landas, meninggalkan Makasar.
Perjalanan menuju Kendari dari Makasar ditempuh hanya dalam waktu satu jam lebih beberapa menit. Tak ada yang dilakukannya selain menikmati keindahan awan juga daratan ketika pesawat mulai terbang rendah. Lalu, ingatan tentang Aksa saat pergi ke Bali kembali hadir. Dia ingat betapa heboh adiknya kala itu. Meski di hadapannya sudah ada layar untuk menonton film sebagai pengisi perjalanan, Aksa justru sibuk memotret awan dan merekam segala sesuatu yang menurutnya baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...