Anak lelaki berusia 15 tahun menarik paksa Danu yang enggan menuruti.
"Aku baru makan, Mas. Tunggu sebentar! Sayang nasinya." Wajah Danu memelas. Tangannya berpegang pada meja untuk bertahan dari tarikan paksa kakaknya.
"Pulang!" Anak lelaki dengan wajah gusar masih saja meminta adiknya menuruti perintah. Mau tak mau Arga terpaksa melerai dan meminta kesediaan untuk menunggu sebentar sampai Danu selesai.
"Untuk apa Anda mengajak Adik saya makan? Apa Anda mau memanfaatkan Danu?" Tatapan setajam elang ditujukan pada Arga.
Ah, berani sekali anak lelaki ini membentaknya. Mengapa? Apa karena Danu? Apa dia kakak yang diceritakan? Lagian siapa pula yang mau memanfaatkan? Dia hanya minta ditemani saja dan memberi upah untuk undur-undur yang dijual padanya. Apa salah? Oh, ya. Mungkin itu memiliki makna yang hampir sama.
"Katakan? Kamu cari undur-undur lagi? Bagaimana kalau kamu 'kenther' kena ombak, ha?" Lagi-lagi lelaki itu mencecar Danu tanpa ampun. Sudah macam polisi yang menginterogasi. Sedang Danu masih asyik makan nasi Padang. Bukan tak mendengarkan, mungkin sudah saking biasanya sampai tak mau ambil pusing dengan omelan.
"Mas, gak usah marah-marah. Makan yok." Danu menyodorkan piring nasi dan meminta kesediaan kakaknya untuk menyudahi acara memalukan kali ini.
"Duduklah!" pinta Arga yang merasa tak nyaman dengan kehadiran kakaknya Danu. Apalagi beberapa pengunjung menatap drama mereka. Mengapa juga harus semarah itu? Bahkan menuduhnya bukan-bukan. Toh dia tidak menculik atau melakukan kekerasan.
"Mas, isin, ih. Duduk!" Danu bangkit dan meraih pergelangan tangan kakaknya. Meminta dengan sorot penuh harap agar tidak membuat keributan lagi dan duduk bersama.
Anak lelaki yang juga memakai baju kusut juga hampir pudar, memberikan tatapan pada Arga sebelum memenuhi permintaan adiknya. "Cepat! Aku sudah cari kamu ke mana-mana. Sudah dibilang. Pulang sekolah, pulang!"
Tak ada raut penyesalan dari Danu yang sudah membuat cemas. Dia justru asyik mengepal nasi dan berniat menyuapi kakaknya. Tentu saja hal itu mendapat penolakan.
"Kenapa kamu malah makan di sini? Mas sudah bilang! Tunggu Mas pulang! Gak usah ngemis-ngemis." Walau nada suara tak sekencang tadi, Arga masih bisa menangkap percakapan kakak beradik itu.
Arga memperhatikan sang kakak yang bertubuh kecil. Wajahnya manis, dengan kulit sawo matang. Namun, sepertinya bisa saja lebih bersih mengingat ucapan Danu yang mengatakan jika kakaknya sering berjualan keliling. Sudah pasti terpanggang matahari.
"Aku gak ngemis, Mas. Orang itu nawarin aku makan kok. Lagipula kita kan memang kere. Kenapa gak menerima niat baik mereka?"
Arga cukup terkejut mendengar ucapan Danu yang begitu jujur. Hanya dengan beberapa percakapan dia bisa menyimpulkan jika sang kakak mempunyai harga diri tinggi, sehingga tak mau terlihat mengemis meski adiknya sendiri mengatakan mereka miskin.
Bukannya terima, sang kakak justru semakin murka. Dia berdiri dan berkata, "Kamu itu kalau bodoh suka kelewatan. Sudah dimanfaatkan masih saja sok baik sama orang. Mereka orang kaya. Bisa semena-mena. Sudah, Cepat pulang."
Tangan Danu ditarik paksa. Dia pun tak sempat membuat pertahanan, apalagi tangannya tak bisa meraih tas yang berada di luar jangkauan. Juga dengan tugasnya untuk menemani makan siang. "Tunggu, Mas." Dia memberontak, hanya saja kalah tenaga. Dengan raut penyesalan dia menatap Arga yang tak bisa berbuat apa-apa.
"Om, makasih, ya. Besok kalau ketemu lagi. Aku akan menggambarkanmu sebagai ucapan terima kasih." Meski kakinya berjalan mengikuti langkah sang kakak, pandangannya masih terkunci pada Arga. Lalu dia melambaikan tangan dan tersenyum bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...