"Katanya ingin membantuku membesarkan nama perusahaan. Mana buktinya? Yang aku lihat hari-hari kamu hanya pacaran dengan Kia." Adi menyandarkan punggung ke kursi putarnya saat Arga masuk ke ruangan. Pandangannya tertuju pada beberapa berkas yang baru dibawa. Sudah beberapa minggu sejak sahabatnya ikut bergabung di kantor pusat yang berada di Jogja. Menjabat sebagai manager keuangan juga hrd secara bersamaan.
Ruangan Adi cukup besar. Bahkan paling luas di antara lantai lainnya. Walau hanya ruko tiga lantai. Ayah Adi selaku pemilik usaha sudah membagi setiap lantai sesuai dengan fungsi. Seperti lantai dua untuk bagian keuangan begitu pula dengan lantai satu untuk staf hrd. Sedangkan Adi dan Arga berada pada satu lantai yang sama, hanya berbeda ruangan. Tentu Arga membawahi bagian keuangan juga hrd. Tak banyak karyawan yang mereka miliki, mengingat lebih banyak di lapangan.
Bukannya menjawab, Arga memutar tubuh dan menghempaskan diri di sofa ruangan. Pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan dengan pikiran menerawang jauh entah ke mana. Dia bahkan tak menghiraukan sindiran Adi padanya.
"Kamu hanya beralasan Citra Buana padahal Kia adalah tujuanmu yang sebenarnya." Sudut bibir Adi terangkat. "Sudah kuduga, kalau berhubungan dengan wanita kamu pasti akan kalah."
Dia memutar kursi, menatap keluar ruko. Sejauh jangkauan pandang, lalu lintas cukup ramai apalagi mendekati makan siang.
"Kamu harusnya tahu, beberapa tender dimenangkan Citra Buana dan kamu bisa-bisanya hanya memikirkan cinta." Setelah sekian lama selalu mendapat sindiran dari Arga, kini dia mempunyai senjata yang bisa menyerang balik. Dia cukup bersabar dengan kelakuan sahabatnya yang terserang demam asmara.
Arga sendiri tak memperdulikan ocehan Adi Pikirannya tertuju pada satu nama, Kia. Setelah keputusan besar yang diperbuat sewaktu di Hutan Pinus Mangunan, dia merasa harus segera bertindak. Untuk mengakhiri perasaan yang mengganggu dan fokus dengan tujuan awal. Ya, dia harus melamar. "Aku akan melamar Kia."
Ucapan Arga tentu membuat Adi langsung bangkit. Dengan tatapan tak percaya juga penuh tanda tanya, dia berjalan mendekat. Lalu wajah yang meminta penjelasan sudah berpindah ke seberang meja Arga. "Serius?"
Pandangan Arga beralih pada sahabatnya yang sudah diduga akan kaget mendengar cerita. "Satu juta rius."
Mulut Adi ternganga, dia kagum dengan langkah yang telah dipilih Arga. Bahkan tak menduga akan sejauh itu. Tangannya terangkat memberi tepuk tangan, seolah apa yang terjadi patut diberi apresiasi. "Kamu mengejutkanku. Selalu spontanitas."
"Aku juga sudah mengatakan perasaanku. Beberapa hari yang lalu."
Semakin penasaran, dia berpindah tempat. Duduk di samping Arga. "Syukurlah, kamu sudah siuman dan sadar dengan kehadirannya." Mendesah berat karena tak menduga sebelumnya akan kalah bahkan dalam urusan asmara. "So, akhirnya kamu sold out juga." Dia menepuk paha sahabatnya. "Kapan kamu akan melamarnya secara resmi?"
Arga menegakkan punggung lalu menghela napas. Siku tangan diletakkan di atas paha. "Secepatnya, tapi sebelum itu aku harus membawanya menemui Ibu juga Aksa."
Adi menoleh dengan alis saling bertaut. "Maksudmu? Kamu belum bilang Ibu dan Adikku sudah meninggal?"
Arga menunduk dengan kedua tangan saling bertaut. "Bagiku, mereka tak pernah mati. Jika sampai mereka mati, berarti hatiku juga sudah mati."
Mendengar ucapan Arga, Adi segera memberi sebuah rangkulan. Seolah tengah menguatkan dan menyadarkan bahwa Arga tak sendiri karena masih ada dirinya yang selalu ada. "Kalau begitu, kamu harus segera pergi ke toko emas. Pesanlah cincin dan segera tuntaskan kegalauan hatimu. Jadilah lelaki yang jantan." Dia bangkit dan menepuk bahu Arga, sejenak melupakan permasalahan yang tengah membelit pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomansaSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...