26. Menikahlah denganku

8 0 0
                                    

Kia menatap sendu Arga yang baru saja melepaskan sabuk pengaman. Hatinya sakit begitu tahu ketika keluarga yang akan ditemui tak lagi mempunyai raga. "Ga, kenapa kamu tidak bilang sejak awal?" Ada sesal karena tak paham dengan ucapan yang bermakna ganda. Dia bebal tak bisa menafsirkan kalimat Arga yang tanpa langsung sudah memberi tahunya.

Arga menoleh dan tersenyum. Sebuah genggaman yang bermakna dia berikan. "Maaf, bagiku mereka tidak pernah mati. Tidak apa-apa." Dia mengusap punggung tangan Kia, cukup lama.

Teringat dengan tujuan utama, Kia melepaskan genggaman dan segera turun mengambil buket bunga, menunggu di tepi jalan. Sedang Arga memutar mobil agar bisa langsung pulang begitu selesai. Dia turun dan segera menggandeng masuk.

Kia menatap areal pemakaman yang lengang. Hanya suara serangga yang tertangkap telinga. Bahkan tak ada warga yang lewat sekedar mencari rumput untuk peliharaan mereka. Tentu karena ini masih terlalu pagi, jam baru menunjukkan pukul sembilan lewat. Rumput juga masih menyisakan embun. Sedang terlalu siang untuk ke sawah.

Dia berjalan dengan hati-hati agar tak menginjak makam yang sudah rata dan tak terlihat karena nisan hanya berupa kayu. Beruntung tak memakai sepatu hak tinggi yang sudah pasti menyulitkan langkah. Pijakan tanah masih lembab, untung bukan becek.

Mengedarkan pandangan, tak ada siapapun di areal pemakaman. Hanya mereka berdua. Sudah beberapa meter sejak pintu masuk dan dia merasa waktu bergerak lambat. Ah, bukan ini sambutan yang ingin Kia berikan. Seharusnya dia tersenyum dan bisa memeluk tubuh wanita yang telah melahirkan lelaki di sampingnya. Berbasa-basi dengan gurauan, bukan berbicara pada segunduk tanah.

Meski begitu, langkahnya tetap mengikuti Arga. Selangkah dua langkah hingga akhirnya tiba di makam yang dimaksud. Genggaman tangan Arga mengendur. Lelaki itu jongkok di samping makam bertabur bunga kering dengan beberapa bunga potong yang sudah mulai layu. Dia mencium nisan ibunya dengan penuh kerinduan lalu air mata telah menggenang di pelupuk Kia.

Sekarang dia tahu, mengapa Arga memintanya untuk tak bekerja. Sekarang dia tahu betapa kesepian lelaki yang tengah mengusap nisan ibunya. Lalu tangannya menyeka air mata yang hendak menetes keluar. Dia mendekat di sisi yang berseberangan.

"Bu, dia adalah calon menantumu. Cantik bukan? Aku akan menikahinya dalam waktu dekat." Arga langsung menggenggam tangan Kia seolah tengah mengenalkan.

Kia menatap dengan penuh haru. Suasana yang seharusnya penuh tawa justru menjadi sendu. Dia tahu betapa menyakitkan ketika yang dilakukan hanya berbicara, tanpa pernah tersampaikan pada mereka yang telah tiada. Dia tahu betapa rindu ingin memeluk raga tapi hanya mampu duduk di pemakaman. Sakit. Hatinya ngilu melihat apa yang dilakukan Arga. Tangannya sontak mengeratkan genggaman.

"Ibu, aku mohon izin untuk menemani anak lelakimu. Aku janji akan menyayangi dan menjaganya. Memberikan waktu juga perhatian yang juga telah Ibu berikan. Terima kasih karena telah melahirkan lelaki hebat." Sembari menahan air mata, Kia berujar. Buket bunga diletakkan di atas makam.

"Bu, aku minta restumu, agar rencana kami lancar. Tanpa kukatakan, aku yakin Ibu akan memberikan. Aku hanya ... ingin membaginya denganmu." Genggaman tangan Arga terlepas dan dia menciumi nisan untuk kesekian kali seraya menahan sesak di dada.

Kia hanya bisa memandangi Arga yang tengah meluapkan kerinduan dengan mata berkaca. Ingin rasanya dia memberi sebuah pelukan dan membiarkan lelaki itu menangis padanya. Menumpahkan segala sesuatu yang sudah dipendam dalam dada.

Arga mengusap nisan sebelum berpindah ke makam di sebelah Kia. Milik Aksa. Saat berpindah tempat, dia menyeka sudut mata yang mulai berair dan memandangi lama. Walau berusaha tegar dengan tersenyum paksa, nyatanya tetap saja butiran bening kembali memenuhi pelupuk mata.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang