20. bos baru

9 0 0
                                    

Tak ada yang percaya meski Arga sudah mengatakan akan pindah ke Jawa. Tentu saja itu karena ulah Rahmat yang mengatakan bahwa bosnya sekedar bercanda. Lalu hari berganti, tak terasa hampir sepuluh hari sejak Arga mengatakan. Para anak buah bahkan sudah melupakan.

Arga yang baru saja memantau jalannya pekerjaan, melihat jam di pergelangan tangan, sudah mendekati waktu Ashar. Menghela napas panjang, dia memanggil Rahmat yang sedari tadi berkutat dengan mobil.

Lelaki yang malas memotong rambutnya hingga grondong itu mendekat. "Mau berangkat sekarang, Bos?"

"Kamu sudah selesai belum? Dari tadi gak selesai-selesai." Bukannya menjawab, Arga yang sedari tadi juga memperhatikan Rahmat justru balik bertanya. Dia berkacak pinggang dengan raut kesal. Mengapa? Tentu saja karena dia sudah mengatakan akan ke kota beberapa hari sebelumnya dan menyuruh Rahmat mempersiapkan mobil dalam kondisi prima, akan tetapi justru lupa dan baru mengecek setelah dia mengingatkan.

"Mesin aman, Bos. Cuma lampu belakang ada yang mati. Kebetulan gak ada cadangan."

"Bukan lampu sign 'kan?" Arga berjalan ke arah belakang mobil dan melihat bagian mana lampu yang rusak.

Rahmat masuk ke mobil dan menyalakan mobil. Tak lupa menginjak rem agar tahu lampu bagian mana yang rusak. Arga segera paham jika lampu rem tak berfungsi sebelah. "Ya sudah kita sekalian cari di Kota. Apa di sini gak ada yang jual?"

Rahmat segera turun begitu Arga berjalan mendekat ke pintu. "Ndak ada, Bos. Cuma desa kecil apa yang Bos harapkan?"

Benar yang dikatakan Rahmat. Susahnya tinggal di desa, segala keperluan harus menyediakan dari kota. Termasuk lampu mobil. "Sudah berangkat dulu, kita mampir nanti."

Rahmat menurut dan segera naik ke mobil. Disusul Arga. "Mau ngapain kita ke kota?" Meski sudah diberi instruksi sebelumnya kalau akan ke kota, dia tak tahu apa tujuannya. Atau Rahmat yang lupa padahal Arga sudah memberi tahu.

"Mau tukar kamu, siapa tahu beruntung dapat motor."

Rahmat langsung melotot mendengarnya. "Ya, Allah Bos. Tega bener dah." Dia berpura-pura merajuk dengan bibir maju beberapa centi. "Jelek-jelek gini sudah punya pacar." Wajah yang tadinya masam seketika berubah drastis. Dia membusungkan dada, menganggap mempunyai pacar adalah prestasi yang patut diapresiasi.

"Aku turut sedih dengan pacarmu."

"Kok gitu, Bos."

"Bukannya berkah justru cilaka. Bayangkan! Bagaimana kalau besok kalian sedang kencan dan kamu lupa tidak membawa dompet saat makan bersama?"

"Gusti! Jangan sampai Bos!"

Arga terkekeh dan mereka menikmati perjalanan dengan cerita tak jelas. Meski lebih banyak Arga menyindir atau menggoda anak buahnya. Setelah sampai di kota, mereka segera mencari lampu di bengkel mobil.

"Kok banyak sekali lampunya, Bos?" tanya Rahmat ketika menerima kantong kresek berisi berbagai macam lampu.

"Buat jaga-jaga sekaligus kenang-kenangan dariku." Arga langsung duduk begitu selesai membeli.

Ucapan Arga tentu saja membuat Rahmat mengernyitkan dahi. Walau begitu, dia tak menanggapi dan mengira hanya gurauan seperti biasa. "Kenang-kenangan itu yang berkesan, Bos. Seperti sepatu mahal atau jam tangan. Ini lampu. Namanya gak modal." Rahmat segera menutup kantong kresek dengan membuat simpul dan meletakkan di jok tengah.

Arga kembali terkekeh mendengar ucapan Rahmat. Ada-ada saja.

"Habis ini mau ke mana lagi, Bos?" Rahmat sudah bersiap menginjak pedal gas, tapi dia menoleh memastikan akan menuju ke mana.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang