Lelaki dengan kacamata hitam berdiri di samping sebuah gundukan tanah merah. Di atas makam yang masih basah, sebuah bola basket sebagai tanda persahabatan dari teman satu tim tergeletak penuh tanda tangan.
Suasana pemakaman begitu syahdu. Aroma bunga memenuhi indera penciuman dan semilir angin membelai wajah dengan lembut. Pun dengan cuaca yang begitu bersahabat.
Perlahan para pelayat mulai pergi, menyisakan lelaki itu sendiri. "Kenapa kalian tega meninggalkanku seorang diri? Bukankah kalian bilang menyayangiku?"
Dia jongkok dan memegang nisan makam. Perlahan butiran bening jatuh di wajahnya yang pucat juga tirus. Terbayang senyum adiknya yang kini terkubur di bawah tanah. Pelukan hangat dan genggaman tangan kini memudar. Berganti rasa sakit yang menghebat. "Sekarang kamu gak lagi merasakan sakit, tapi ... hatiku patah."
Setelah hampir setengah tahun melawan penyakit yang diderita, Aksa menyerah dengan takdir Tuhan setelah kemampuan tubuh perlahan menghilang. Begitu pula dengan Arga yang dipaksa untuk ikhlas menerima ketentuan.
Dia tak bisa lupa tentang perjuangan Aksa melawan penyakitnya. Erangan, lenguhan, tangisan juga tubuh yang mengejang. Ucapan terbata-bata saat mengatakan tidak kuat menghadapi sakitnya penderitaan di tengah keinginan hidup lebih lama.
Dari jauh seorang lelaki dengan motif batik berjalan mendekat. Pelan, seolah tak mau mengganggu kekhusyukan. Begitu sudah berada beberapa jengkal, dia mengusap bahu sahabatnya yang bergetar. "Sorry, aku baru saja datang dan gak ada di waktu tersulitmu."
Lelaki itu mengangguk paham dan berdiri setelah menyeka sisa air kata. "It's okay."
"Aku turut berduka cita."
"Thanks."
"Kamu sudah memperjuangkannya. Aku yakin dia pasti bahagia karena kamu telah menemaninya."
Hanya kesunyian yang ada di antara mereka. Lelaki yang memakai kemeja hitam itu tak berniat menanggapi ucapan sahabatnya yang telah menghiburnya.
"Kapan aku bisa mulai bekerja?"
"Kamu baru saja berduka dan menanyakan kapan bekerja?"
"Aku butuh pelampiasan. Rasa sakit ini harus kualihkan atau aku bisa gila."
Sahabatnya hanya menghela napas panjang. Tak mungkin dia ceramah di saat yang tak tepat. Bukankah kita harus menerima rasa sakit dan bukan menghindarinya? Ah, biarlah sekarang dia tak perlu mengeluarkan jurus andalannya. Sahabatnya sedang tak membutuhkan nasihat.
"Datanglah besok kalau kamu memang sudah siap, tapi tolong ... aku tak membutuhkan amarah dalam pekerjaan."
"Tenang saja, aku profesional dalam hal ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...