18. rencana awal

15 0 0
                                    

Sarapan kali ini diisi dengan suara sendok yang beradu pada piring. Arga terlalu malas untuk buka suara. Isi kepalanya dipenuhi berbagai sumpah serapah yang ingin segera dimuntahkan. Walau tak ada kenikmatan dari menu sarapan di hadapannya. Walau kunyahan di mulut begitu sulit ditelan, dia tetap melahap menu di hadapannya. Menjejali hingga turun ke kerongkongan. Dia harus mempersiapkan stamina, berhadapan dengan ayahnya sudah pasti akan menguras seluruh energi.

Sedang Artha yang hanya memakai celana kolor santai berwarna abu-abu tua dan kaos merah, merasakan perubahan sikap Arga. Wajar. Dia adalah orang yang menjadi musuh bagi perusahaan anaknya. Yang berada di belakang penolakan pembukaan jalan. Walau dia cukup terkejut ketika Arga menelpon dan menggertak. Tak pernah menyangka sejauh itu berhadapan. Sebagai lawan, bukan kawan apalagi anak sendiri.

Sebagai seorang karyawan, dia sudah kepalang tanggung memprovokasi masyarakat dan berharap bisa menghalangi proyek itu. Namun, sisi seorang ayah terpaksa membuatnya mengalah entah oleh apa. Apakah karena anak lelakinya yang meminta atau hal yang tak bisa dikatakan. Yang jelas ada sisi emosional yang lebih mendominasi.

Mereka makan dalam keheningan lalu tanpa sadar sama-sama sudah selesai. Rangkaian kata yang sudah disiapkan mendadak lenyap, bingung harus memulai pembicaraan dari mana.

"Biar Ayah saja yang taruh di depan." Artha mengambil alih piring anaknya dan membawa ke depan pintu kamar. Sebenarnya hal itu hanya untuk sedikit menarik simpati juga memberi waktu pada dirinya untuk bersikap layaknya seorang ayah.

"Apa gak lebih baik kita berbincang di luar? Sembari minum kopi misalnya." Artha berjalan mendekat, mengambil botol air putih dan memberikan pada Arga.

"Gak usah! Aku datang bukan untuk berbasa-basi sebagai seorang anak kepada Ayahnya."

"Oh." Artha berjalan menuju kursi yang terletak tak jauh dari ranjang, menyandarkan punggung. Matanya sedari tadi memperhatikan Arga yang tak berniat bersitatap. "Kupikir permintaanmu kemarin murni karena kita adalah Ayah dan Anak."

Sudut bibir Arga terangkat. Ingin rasanya dia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan lelaki yang mulai berkeriput itu. "Ayah? Ayah apa yang lebih memilih mengurusi anak wanita lain daripada darah daging sendiri? Ayah gak ubahnya lelaki egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku gak yakin Ayah pantas disebut sebagai orang tua."

Lagi-lagi Artha dibuat terperangah dengan ucapan anak lelakinya. Sangat kasar menurutnya. "Aku gak percaya kata-kata itu keluar dari mulut anak lelakiku yang terpelajar."

"Justru karena aku terpelajar, jadi perlu mengingatkan di mana seorang suami meletakkan pendidikan dalam pernikahan. Aku yakin lelaki yang disebut Ayah tentu menggunakan akal sehatnya, bukan otak reptilnya."

Artha terdiam. Bukan! Bukan ini pembicaraan yang ingin didengar dari anak lelaki tertuanya. Bukan kesalahan lalu yang diungkit. Bukan! Itu juga bukan kesalahan tetapi memang kesengajaan. Wajar jika sampai sampai pada waktunya Arga tahu dan marah. Karena dia memang pantas mendapatkannya. Namun, sekali lagi bukan ini yang ingin diperbincangkan.

Dia ingin anak lelakinya melupakan yang telah terlewat. Bukankah mereka berdua juga sama-sama bahagia dengan kehidupan yang dijalani sekarang? Dia hanya ingin bercanda layaknya anak dan ayah yang sudah lama tak berjumpa. Dia ingin memanjakan Arga yang sudah bukan lagi anak SMA dan selalu minta dijemput pulang bersama. Dia ingin segala hal sebelum mereka berpisah. Namun, sekarang sudah berubah. Kesalahan tetap menjadi kesalahan dan retaknya hubungan mereka tak akan kembali seperti semula hanya dengan kata maaf.

Artha bangkit dari duduk dan berjalan menuju jendela kaca, membelakangi Arga yang menahan emosi yang perlahan meletup-letup di kepala. "Bukankah semua orang berhak bahagia untuk diri mereka sendiri, Ga? Begitu juga denganmu, bukan?"

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang