11. dunia yang sekarang terbagi

15 0 0
                                    

Arga tiba di Makasar pukul delapan waktu setempat. Terdapat perbedaan waktu satu jam. Setelah setengah jam menunggu bagasi, dia keluar. Sudah ada jemputan yang akan mengantarkan ke hotel, beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Kendari. Namun, sebelumnya dia harus melaksanakan perintah Adi untuk menengok proyek rekonstruksi jembatan di kabupaten Maros keesokan hari. Melihat progres yang sudah berjalan selama dua bulan dan memastikan selesai sebelum masa kontrak.

Lelaki berusia 35 tahun yang menjemputnya, mengantar ke sebuah hotel yang terletak tak jauh dari Bandara dan masih berada di jalan utama. Sebuah hotel yang memiliki reputasi bagus dan sering menjadi persinggahan karena letaknya yang strategis.

"Besok saya akan jemput pukul delapan." Lelaki dengan potongan rambut pendek itu pamit pergi begitu Arga selesai memesan kamar.

"Baik. Bisakah kamu bawakan dokumen Rab-nya sekalian?"

"Baik." Lelaki setinggi 155 cm itu undur diri.

Arga segera menuju kamarnya yang berada di lantai sembilan dan membersihkan diri. Rasanya tidak nyaman meski sudah mandi sebelum berangkat.

Setelah berganti pakaian yang lebih santai, dia segera membuka ponsel. Beberapa pesan dari anak buah di lapangan. Tentang sejauh mana pembukaan jalan bertambah dan pertanyaan kapan harus menjemput. Mengingat anak buah akan turun mengambil sparepart juga membeli tambahan pasokan makanan selama beberapa hari ke depan.

Belum sempat membalas, sebuah pesan dari Kia masuk. Tanpa dibuka dia bisa melihat sebagian isi yang menanyakan apakah dirinya sudah sampai atau belum. Klise. Tak berniat menanggapi, dia memilih mengabari anak buahnya jika terbang keesokan hari dan tiba saat sore. Setelah mendapatkan jawaban, dia segera membaringkan tubuh di ranjang.

Baru juga hendak tidur, pikiran terus meminta segera membalas pesan walau secara singkat. Untuk apa? Entahlah. Mungkin hanya sekedar membalas niat baik yang rela membuang waktu juga kuota menanyakan dirinya.

Tak menunggu lama, dia kembali menyambar ponselnya dan membalas walau hanya dengan kata singkat 'ya'. Lalu meletakkan kembali di nakas. Dia tak ingin menanggapi lagi meski getaran menandakan pesannya sudah dibalas dan memilih tidur.

Pukul enam dia sudah membereskan isi kopernya. Kali ini, memakai kemeja biru kotak dengan celana jeans. Sepatu kulit dan jam di pergelangan tangan, tak lupa. Selesai menata, dia turun untuk sarapan. Duduk di pojok restoran, memperhatikan lalu lintas kota Makasar dari balik kaca.

Setengah jam menikmati kesendirian, sesekali melirik keluarga yang asyik bercengkerama dan tertawa dengan anak mereka. Lalu rasa iri menyelusup begitu saja. Akankah dia bisa merasakannya?

Menghela napas panjang, dia menyudahi sarapan dan kembali ke kamar mengambil koper. Melakukan check out agar tidak bolak balik, menghemat waktu supaya langsung ke bandara begitu pekerjaan selesai.

"Maaf, Pak. Membuat Anda menunggu lama," sesal lelaki bermata sipit yang melihat Arga sudah duduk di lobi. Tanpa menunggu perintah, dia segera mengambil alih koper Arga dan membawanya ke mobil.

Arga menyusul di belakang, begitu masuk ke mobil langsung menyambar berkas rencana anggaran biaya dan membaca dengan seksama. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Lelaki yang memegang kemudi seolah tak berani mengganggu fokus.

Empat puluh lima menit mereka sampai di tempat. Dia segera turun setelah memakai helm berwarna putih juga rompi yang memang seharusnya digunakan. Seorang pengawas lapangan juga konsultan supervisi mendekat. Memberi tahu sejauh mana progres pembangunan. Apa saja yang dilakukan untuk perbaikan dan penguatan pada lantai jembatan. Tak lupa hambatan selama pengerjaan, belum lagi protes warga akibat kemacetan yang terjadi akibat proses rekonstruksi.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang