"Minggu depan kamu ke Jakarta." Adi sengaja datang ke ruangan Arga.
Arga melihat dari balik layar laptop saat Adi duduk di hadapan dan kembali pada pekerjaan. Tak mendapat respon dari sahabatnya yang masih berkutat di depan layar, Adi merapatkan tubuh. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja sehingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu fokus. Rencananya tak berhasil. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Arga masih belum berminat mendengar perintah apa yang akan diterima.
"Kamu tak tanya untuk apa?" Adi penasaran sedari tadi Arga hanya diam. Apakah laporan yang sedang dikerjakan benar-benar tak bisa mengalihkan perhatian barang sebentar.
Arga menekan tut keyboard dan menghela napas panjang. Kini pandangannya beralih pada Adi yang mulai kesal sedari tadi diabaikan. "Memang untuk apa? Lalu kenapa juga harus aku?"
"Heh! Itu sudah tugasmu! Kamu mewakili perusahaan sebagai tamu undangan acara perkumpulan para pengusaha juga dengan perwakilan pemerintah."
"Bukankah kamu menyukai acara seperti itu? Bisa sekalian mencari wanita Jakarta yang aduhai." Arga menarik kursi agar lebih mendekat ke meja dengan kedua alis terangkat juga senyum bernada menyindir.
Adi mengibaskan tangan pada Arga dan bangkit. Berjalan menuju sofa kecil yang berada tak jauh dari meja kerja. Melihat permen di toples meja masih lumayan banyak, tangannya langsung mengambil satu dan membuka.
"Aku sedang tidak minat. Pengen healing," kata Adi seraya memasukkan permen rasa kopi ke mulutnya. "Oh, ya. Kudengar tamu undangan cukup banyak. Siapa tahu kamu bisa bertemu seseorang yang bisa menguntungkan perusahaan. Kamu harus pandai menjilatnya."
Arga menyandarkan punggung ke punggung kursi. Mendengar kata menjilat sudah membuatnya muak apalagi harus melakukan. Jika bukan karena utang, dia sudah memilih resign lama. Sayang masih ada beberapa tahun yang harus dihabiskan menjadi jongos sahabatnya.
"Atau kamu mau mengajak Kia?" Adi terkekeh melihat ekspresi keterkejutan Arga.
"Buat apa?"
"Halah, sok suci kamu! Tentu saja selain sebagai gandengan, kamu bisa menjadikannya guling di kamar hotel. Memanfaatkan kesempatan dapat akomodasi gratis." Adi tertawa dengan ide gilanya. Walau yakin Arga menolak mentah-mentah, dia selalu memojokkan sahabatnya agar tidak terlalu kuno sebagai lelaki.
"Gila!" umpat Arga seraya mendesah, mendengarkan ide gila sahabatnya yang bertindak melebihi setan.
"Bukankah kamu ingin menjadikannya milikimu seorang? Kenapa tidak gerak cepat? Mana bukti kejantananmu? Sampai kapan kamu mau mengalah padaku?" Lagi-lagi Adi tertawa puas bisa membungkam sahabatnya. Untuk urusan satu itu, dia yakin akan menang. Dan benar saja, Arga kembali menekuri pekerjaan alih-alih mendengarkan ocehan tak jelas.
"Justru aku yang menang. Tanpa pemanasan atau percobaan langsung ke inti."
Suasana langsung senyap ketika tawa Adi mereda."Sialan!" Adi merasa kalah. Ucapan Arga memang benar adanya. Selalu seperti itu. Melihat sahabatnya justru kembali menyibukkan diri, dia memilih keluar. "Kamu harus berangkat. Jangan membuatku malu!" ucapnya seraya menutup pintu.
Tinggallah Arga sendiri di ruangan. Menyelesaikan pekerjaan. Menjelang sore, tiket atas namanya sudah dikirim lewat email oleh salah satu staf. "Dasar! Bilang saja iri aku pacaran!" gerutunya sebelum mengakhiri pekerjaan.
***
Sabtu pagi, Arga bangun dengan semangat empat lima. Hari ini dia sudah menjadwalkan Kia untuk datang berziarah ke makam ibu juga adiknya. Tentu dia tak mengatakan jika keluarganya sudah meninggal selama ini.
Selesai sarapan dan bersiap, dia segera menuju garasi. Kali ini dia memakai celana kain panjang coklat tua dengan kemeja putih polos. Dan sejak mengenal Kia, dia lebih sering memakai soflens untuk akhir pekan. Kacamata untuk hari kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...