Sehari setelah pertikaian dengan Adi, Arga tetap berniat berangkat kerja. Menganggap apa yang terjadi antara mereka berdua bukan masalah besar. Bukankah hanya adu argumen seperti biasa. Lagipula dia harus membedakan masalah pekerjaan dengan pribadi. Walau tak jarang pembicaraan di lingkup kerja lebih didominasi oleh urusan basa-basi.
Pagi ini Arga baru saja turun untuk sarapan. Dari lantai dua, dia bisa melihat Mak Ris tengah mempersiapkan sarapan. Ketika menuruni anak tangga, aroma bubur yang bercampur dengan kuah kaldu ayam menusuk hidungnya. Saat itu juga, bayangan saat menyuapi Aksa langsung melintas.
Begitu tiba di depan meja makan, Mak Ris langsung memberi tatapan penuh selidik mengingat baru kali ini majikannya meminta bubur ayam sebagai menu sarapan. "Mas sedang sakit?" tanyanya ketika Arga menarik kursi.
Kedua alis Arga saling bertaut. Apakah permintaannya membuatkan bubur sebagai menu sarapan selalu identik dengan orang sakit? "Ya, Mak." Dia menjawab ala kadarnya. Hanya tak ingin pertanyaan melebar ke mana-mana.
"Saya sudah buatkan wedang jahe, Mas." Mak Ris memutar tubuh dan kembali ke dapur. Mengambil segelas wedang jahe yang masih menguarkan uap panas. Dia meletakkan di sisi kanan Arga yang tersenyum penuh makna juga mengucapkan terima kasih.
Baru saja mengambil bubur ke mangkok, suara bel rumah berbunyi. Mak Ris yang kebetulan masih belum beranjak ke dapur, segera berjalan setengah berlari untuk membukakan pintu. Samar-samar dia mengenali suara yang berada di seberang dinding. Langkahnya melambat, keraguan menguasai diri. Haruskah membukakan pintu atau lebih baik membiarkan? Memastikan diri tidak salah dengan pendengarannya, dia mengintip dari balik gorden tipis yang berada di sisi kanan pintu. Seraut wajah yang sudah dua belas tahun tak terlihat, kini datang dengan wajah gusar.
"Buka saja, Mak!" pinta Arga, seolah tahu apa yang mengganjal di hati pembantunya.
"Bapak, Mas." Mak Ris jujur, mana kala Arga ingin menolak tamu yang datang. Walau sudah dua belas tahun terlewat, dia masih hafal dengan wajah tuan besar.
"Iya." Tak ada perubahan intonasi saat mengiyakan. Dia tahu cepat atau lambat ayahnya akan datang. Tentu menemui Aksa karena dihantui rasa bersalah. Justru akan mengherankan jika sampai tak menunjukkan muka. Dan dia juga sudah bisa menduga, dari mana mendapatkan alamat rumah. Sudah pasti Kia.
Rumah yang sekarang ditempatinya, berbeda dengan rumah mereka saat masih bersama. Karena saat tahu ayah berselingkuh, ibu memutuskan keluar. Harta juga dibagi dua setelah proses perceraian selesai. Ya, saat itu dia hanya beberapa minggu tinggal karena memutuskan kuliah di luar negeri sebagai pelarian. Mengabaikan apapun yang terjadi dengan adik juga ibunya. Dan sekarang, dia akan menghabiskan sisa waktu untuk selamanya.
Begitu pintu dibuka, Artha melenggang masuk seraya memanggil Aksa berulang. Dia berjalan menuju setiap kamar dan membuka. Berharap anak lelaki yang telah disia-siakan akan dijumpai.
Di belakang Mak Ris yang mengekor, berusaha memberi tahu mendadak bungkam, ketika Arga dengan isyarat tangan memintanya diam lalu pergi. Paham situasi kali ini bukan ranahnya, dia menyingkir sesuai perintah. Membiarkan Artha memasuki setiap kamar seraya meneriak nama Aksa juga mantan istrinya bergantian.
"Di mana Aksa?" tanya Artha yang baru saja membuka seluruh kamar yang berada di lantai satu.
Arga tak memperdulikan meski ayahnya sudah berdiri beberapa jengkal dari hadapannya. Setelah memastikan kuah kaldu bercampur dengan bubur, dia menyendok sedikit demi sedikit. Mengabaikan orang yang seharusnya dihormati.
Tak mendapat tanggapan, Artha menaiki tangga. Mencari Aksa di kedua kamar yang berbeda. Tak ada. Dia membanting pintu untuk melampiaskan kekesalannya.
Kesal menganggap Arga menyembunyikan keberadaan Aksa, dia kembali turun ke bawah dan menggebrak meja. "Di mana Aksa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomanceSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...