22. From this moment

7 0 0
                                    

"Kamu harus berterima kasih padaku," ucap Adi saat bertandang ke rumah Arga malam itu.

Arga tersenyum tipis sebagai jawaban lalu mengambil kopi yang dibuatkan oleh Mak Ris di hadapannya. Menghirup aroma yang menenangkan sebelum menyesap, pelan. Rasa pahit kopi disusul manisnya gula, menciptakan perpaduan rasa yang pas di lidah.

Tak mendapat jawaban dari Arga, Adi kembali buka suara. "Jadi apa kalian sudah resmi berpacaran?"

Pertanyaan Adi sukses membuat Arga tersedak. Dia langsung meletakkan cangkir ke piring kecil dan menguasai dirinya yang terbatuk-batuk. Begitu jalan napas lebih lancar, pandangan tertuju pada sahabatnya. "Kenapa kamu berpikir aku berpacaran dengannya?"

Adi yang sedari tadi memandang langit-langit tuang tamu, memberikan tatapan aneh pada sahabatnya. Tak lama tawa pecah melihat ekspresi yang tercetak di wajah. Betapa goblok punya sahabat tidak peka. "Sudah jelas kalian berdua saling menyukai, kenapa masih tanya? Goblok! Goblok!"

Ekspresi Arga tampak tidak suka. Entah kata mana yang membuat wajahnya mengerut dengan tatapan kesal.

"Kalau begitu, sudah sejauh mana hubungan kalian?"

"Hanya berbalas pesan." Arga menjawab ala kadarnya.

"Telepon?" Adi penasaran. Dia mendekat, dengan tatapan menyelidik. Merasa harus mendapatkan informasi lebih banyak.

Arga menggeleng sebagai jawaban. Hal itu membuat Adi menarik kepala menjauh, tak habis pikir. "Payah." Kata itu meluncur bebas.

"Yah, tapi aku senang akhirnya kamu menemukan wanita yang tulus padamu. Jujur, aku iri." Adi mendesah berat lalu tangan menepuk paha sahabatnya sebelum mengambil cangkir kopi. Dipandangi minuman kafein dengan warna pekat lalu bergantian Arga yang tak juga buka suara.

Keheningan menjeda pembicaraan beberapa saat. Arga terjebak dalam ruang indah bernama cinta di mana hanya Kia di dalamnya. Apalagi mengingat beberapa jam ke belakang, waktu bersama wanita yang telah mengisi kekosongan hati.

"Apakah menurutmu dia benar-benar menyukaiku?" Arga meminta pendapat. Tak cukup yakin meraba cinta di saat hatinya sudah mati terlalu lama. Pandangan langsung tertuju pada Adi seolah meminta jawaban yang tepat.

Adi yang sudah meletakkan kembali cangkir sontak tertawa. Dia memukul sofa di sampingnya seraya memegang perut. Ucapan Arga begitu lucu. Sudah sangat jelas Kia menunjukkan rasa cinta dan masih menanyakan hal sekonyol itu.

Melihat Arga masih dengan raut tegang, tawa Adi mereda. "Kupikir kamu sudah lebih tegas soal hubungan, tapi ternyata masih payah. Apa kamu harus kehilangan dulu baru menyadari artinya? Apa kamu masih belum mendapatkan pelajaran dari ceritamu sebelumnya?"

Arga menghela napas dan menyandarkan punggung ke sofa. Pelik. Urusan cinta sangatlah rumit. Padahal sudah sangat jelas Kia memperlihatkan rasa cinta, tapi mengapa sekarang dia tak yakin pantas untuk mendapatkan? Yah, sesaat saja dia merasa sangat senang, tapi dalam sekian detik juga kehilangan kepercayaan diri. Kalau urusan tegas, tentu tak bisa dipukul sama antara keluarga dengan orang asing. Sudah tentu dua hal yang berbeda walau masih pada satu koridor yang sama.

Sejak kematian Aksa, mati-matian dia menekan ego agar tak lagi menyesali tindakan bodohnya. Bahkan jika Kia mengatakan akan pergi, dia akan merelakan. Dia hanya ingin merasakan kebahagiaan orang lain dan merasa tak pantas mendapatkan. Dia takut keegoisannya kembali membuat masalah bagi orang lain, terutama bagi wanita yang sudah menempati sedikit tempat di hatinya saat ini.

"Sudahlah. Aku tak mau memikirkannya lagi." Arga mengibaskan tangan agar Adi mengganti topik pembicaraan. Dia beranggapan akan menemukan jawaban yang tepat. Entah dalam artian Kia menyatakan cinta terlebih dahulu atau membiarkan pergi.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang