5. lelaki dengan gelar ayah

25 1 5
                                    

Hanya dalam sepersekian detik raut keterkejutan Arga dengan kehadiran lelaki yang pernah dipanggilnya ayah. Lalu senyum penuh keterpaksaan merekah setelahnya. Melihat sandiwara yang baru dijalani beberapa jam ke belakang, dia cukup piawai untuk menutupi gejolak emosi yang sejatinya telah menguasai diri.

"Apa kabarmu, Ga?" tanya lelaki dengan mata sipit itu. Dia berdiri tepat di hadapan Arga dan mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Seperti yang Ayah lihat." Arga tak berniat menanggapi permintaan. Bahkan tidak balas menatap.

Lelaki itu tertawa kecil, tidak menunjukkan kemarahan meski permintaannya mendapat penolakan. Merapatkan tubuh, dia merangkul, menyalurkan kerinduan antara anak dan ayah.

Mendapat serangan mendadak, tentu saja Arga tidak bisa menolak.

"Apa kamu tergesa-gesa? Bisakah menemaniku sebentar saja?"

"Aku gak punya banyak waktu." Arga berniat menolak, tetapi mendadak berubah pikiran. "Menemani apa?"

"Dulu ... kamu selalu memilihkan model rambut saat Ayah potong. Aku ingin kali ini kamu yang memilihkan."

Arga diam untuk beberapa saat. Dia tak punya banyak waktu. Di satu sisi masih harus menemani Adi, sisi lain ingin membuktikan sesuatu. Apalagi mendengar permintaan untuk potong rambut.

"Sebelah restoran ada barbershop, aku hanya minta waktu sebentar saja."

"Baiklah." Tanpa pikir panjang, Arga menuruti permintaan ayahnya. Berpikir Adi bisa menyelesaikan masalahnya.

Arga dan lelaki paruh baya memutar tubuh, menuju sebuah barbershop yang berada tak jauh dari restoran.

"Sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan." Lelaki yang memakai kemeja biru muda motif horisontal membuka pintu barbershop mempersilahkan anak lelakinya masuk terlebih dahulu.

"Ya, ini sangat menyenangkan." Arga tertawa sinis lalu mengalihkan pandangan begitu masuk.

Lelaki bernama Artha Yudha Pratama tertawa kembali mendengar sindiran. Dia menepuk bahu anak lelakinya untuk mengeratkan kembali keakraban. "Sudah berapa tahun kita gak bertemu?"

"Sejak kapan Ayah suka berbasa-basi?" Arga menyingkirkan tangan ayahnya seolah najis. Entah mengapa dia harus marah. Apa karena telah membuat Aksa menderita? Bukankah dia juga sama?

Seorang karyawan lelaki mendekat, menawarkan jasa.

"Menurutmu gaya yang cocok denganku apa, Ga?" Artha melirik Arga.

"Bagaimana kalau model seperti anakmu saja? Biar orang tahu kita ayah dan anak yang akrab."

Artha tertawa, tanda menyetujui saran Arga lantas mengatakan pada karyawan yang mempersilahkan duduk. "Bagaimana kabar Ibu juga Aksa?" Dia membuka percakapan seraya memperhatikan anaknya dari pantulan kaca.

Tangan Arga terkepal. Bagaimana bisa lelaki yang sudah menghilang hampir tiga belas tahun baru menanyakan lagi kabar mantan istri juga darah dagingnya? Melupakan perbuatan yang telah menorehkan luka dalam dan menganggap semua sudah selesai.

Dengan hati dongkol dan senyum penuh kepalsuan, Arga menjawab penuh keyakinan. "Tentu saja kami bahagia. Ada Ayah atau gak." Dia duduk di bangku besi yang berada di belakang ayahnya.

"Syukurlah." Lelaki itu menghela napas lega. Tidak sepenuhnya lega karena ada gurat yang tidak bisa ditafsirkan.

Arga mati-matian menahan diri untuk tidak memaki. "Untuk apa Ayah menanyakan hal yang sudah Ayah buang?"

Artha diam, entah karena tidak mendengar atau tengah memproses jawaban yang pas.

"Apa Ayah menyesali tindakan yang sudah dipilih?" Arga terus saja mencecar. Masih beruntung tidak ada kata kasar yang keluar atau tindakan yang berlebihan, menonjok atau menganiaya yang lebih parah.

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang