Entah apa yang ada di pikiran Arga hingga salah membaca jadwal penerbangan. Pesawat yang seharusnya jam enam pagi dan dia membaca jam empat sore hanya karena kesamaan angka. Padahal dilihat dari mana pun tetap beda jauh. Dia sendiri tak habis pikir. Apakah otaknya sudah kebanyakan beban pikiran sehingga dia melewatkan hal terpenting. Atau terlalu memikirkan hal tak penting, seperti perasaannya terhadap Kia sampai-sampai tak fokus dengan hal yang justru penting. Entahlah. Beruntung sepulang dari makan malam bersama, dia sempat membaca ulang lagi e tiket yang dipesankan Adi untuknya.
Panik? Jelas. Rencana awal yang hendak datang ke mess keesokan pagi terpaksa dibatalkan. Malam itu juga, dia meminta Rahmat segera membawa keperluan yang sudah disiapkan ke hotel. Padahal waktu sudah lewat tengah malam dan karena keteledorannya, dia membuat anak buahnya harus bolak balik mess ke kota. Memang tak jauh, hanya sekitar satu jam. Namun, dia sedikit cemas dengan keselamatan mengingat waktu sudah terlampau malam.
"Tumben Bos gak fokus? Banyak pikiran karena mau ketemu calon jodoh apa?" Rahmat yang baru saja tiba menyerahkan koper berisi pakaian juga barang-barang Arga di lobi hotel.
"Padahal kita berencana membuat acara perpisahan besok biar lebih dramatis." Karena Arga tak kunjung buka suara, Rahmat kembali bercerita.
"Gak usah. sudah macam orang mati saja." Arga menerima koper. Tak banyak barangnya, hanya baju ganti dan sepatu. Selebihnya tak ada. "Kembalilah! Sampaikan salam juga permintaan maaf karena tak bisa datang ke mess untuk terakhir kali."
Rahmat bukannya segera pergi, tapi justru menatap bosnya tak rela. Meski kenyataan Arga adalah orang yang berkedudukan tinggi dan dia selaku anak buah yang kurang ajar. Dia merasa suatu hubungan yang dalam karena sebelumnya tak bebas berekspresi seperti sekarang. "Bos, bolehkah aku memelukmu?"
"Buat apa? Ketekmu bau." Dengan isyarat tangan, Arga mengusir Rahmat agar segera kembali ke mess.
Tak ada kemarahan yang ditunjukkan Rahmat. Dia tahu semua ucapan Arga hanya sebatas gurauan dan hal itu yang membuat dekat. Sebab hampir setiap hari menemani sudah pasti lebih banyak interaksi. "Aku temani malam ini, Bos." Rahmat masih saja merayu agar bisa mempunyai waktu lebih banyak.
"Gak usah! Aku bukan pasangan homo." Karena Rahmat masih saja bertingkah menyebalkan, Arga segera berbalik arah. Belum ada dua meter, langkahnya melambat. Rahmat masih saja memanggil. Dengan raut kesal dia menoleh.
"Semangat, Bos!"
Arga tersenyum, sinis. Ucapan template. Dia segera berlalu menuju lift, tak mau Rahmat berlama-lama dan berharap lekas kembali.
"Bos, jangan lupakan kami!"
Langkah Arga kembali terhenti. Sebuah senyum yang tidak bisa diartikan mengembang di wajah. Dia menjawab dengan menaikkan tangan kanan tanpa membalikkan badan. Dia bukan lagi anak SMA yang akan menangis dengan perpisahan, tapi mau bagaimanapun dia terlalu jauh membawa perasaan dalam hubungan yang seharusnya profesional. Begitu masuk lift, ekor matanya masih menangkap Rahmat yang keluar dari lobi. "Thanks."
Sesampai di lantai tujuh, dia segera menuju kamar dengan koper di tangan kiri. Hatinya lega, walau tak bisa mengucapkan perpisahan dengan lebih elegan. Setidaknya sudah sejak jauh hari dia mengatakan akan pindah. Langkahnya semakin ringan menapaki lorong hotel. Apalagi saat kembali ke kamar dan melihat ponsel yang berisi pesan dari anak buahnya yang lain. Namun, ada pesan yang selalu ditunggu.
Kenapa belum tidur? Ini sudah malam bukan di sana?
Ada kehangatan yang lagi-lagi menjalar di dada. Pesan template yang datang tengah malam. Siapa yang rela meluangkan waktu untuk membalas pesan yang sudah mendekati jam satu, jika bukan orang gila atau penggemar berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
عاطفيةSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...