29. belum bisa melepasmu

7 0 0
                                    

Arga menerima ajakan reuni teman sekelasnya. Setelah selesai acara workshop dan membersihkan diri, mereka menuju sebuah kafe bernuansa Jakarta tempo dulu yang terletak tak jauh dari hotel.

Begitu memasuki ruangan bercat putih yang dipenuhi dengan barang antik, mereka duduk di kursi kayu. Guntur mengeluarkan ponsel dan meletakkan di meja bertaplak putih, sedang Arga justru mengedarkan pandangan. Mengamati tempat yang menarik perhatiannya kali ini.

Kafe yang estetik. Foto hitam putih terpajang di dinding, Tanaman hias palem juga berada di pojok ruangan. Belum lagi lampu khas zaman dulu juga jendela kayu. Aroma yang masuk ke saluran pernapasan juga masakan yang menggugah selera. Dia merasa tersedot dalam nuansa tempo dulu.

"Kamu sudah pernah makan soto Betawi belum?"

Arga tersadar dan menoleh ke arah Guntur yang langsung membuka buku menu. "Belum yang asli Betawi."

"Pas, kalau gitu tak pesenin." Guntur memukul meja seolah menemukan ide untuk makan kesekian mereka.

"Hei, kita baru saja makan malam." Arga keberatan apalagi ketika karyawan datang dan menyodorkan buku menu.

"Kenapa memangnya? Lihatlah dirimu yang kurus macam tiang listrik dari dulu sampai sekarang. Gak ada peningkatan. Muka, badan, dompet apa ada kemajuan?"

Mereka tergelak bersama. Menyindir diri mereka yang tidak mengalami perubahan dari segi mana pun. Lalu Guntur mulai melihat daftar yang tersedia.

"Soto Betawi, ketoprak, asinan Betawi, kue rangi, tempe mendoan dan es teller."

Arga geleng-geleng kepala mendengar menu yang dipesankan Guntur. Hanya berdua apalagi sudah makan malam sebelumnya dan masih memesan sedemikian banyak.

"Ini reuni atau ajang kuat-kuatan makan? Banyak amat kamu pesan."

Guntur menyerahkan buku menu pada pelayan dan menatap Arga. "Habiskan! Sampai malam kita. Besok Siang aku sudah harus kembali ke Semarang."

Lalu percakapan di antara mereka mengalir begitu saja. Tentu saja menceritakan kehidupan setelah lulus SMA, perkuliahan dan lika liku di dunia kerja. Arga seolah mendapat celah untuk masuk lebih dalam. Merealisasikan rencana. Menghancurkan ayahnya. Rencana awal agar menjebloskan ke penjara dengan dugaan kasus suap atau mark up dana tak bisa dilakukan. Jadi setelah berbincang-bincang dengan Guntur, kini ide lain tersusun di benak. Jika dari luar tidak bisa, maka hanya ini jalan satu-satunya. Dia tak peduli meski dia adalah anaknya. Bukankah ayahnya juga sama saja? Menggunakan anak untuk mendapatkan keinginannya.

"Kalau gitu aku bisa minta tolong sama kamu." Arga memasang wajah memelas. Ada gunanya mengikuti Adi ke manapun, karena bersandiwara jadi lebih menyenangkan ketika dipraktekkan.

Mimik wajah Guntur berubah serius. Tubuhnya merapat ke meja. Baru kali ini Arga Satya Pratama meminta bantuan padanya. Apa dia tidak salah dengar? Seingat perjalanan sekolah bersama, dia adalah lelaki yang selalu dimintai bantuan, bukan sebaliknya. Walau dulu mereka tak begitu akrab, tak bisa dipungkiri ada begitu banyak kebaikan yang sudah dilakukan Arga selama melewatkan tiga tahun bersama. Tentu saja dalam hal tugas sekolah, mengingat dirinya dahulu bisa sekelas hanya karena faktor keberuntungan semata.

"Katakan, kamu mau apa? Akan kukabulkan permintaanmu." Guntur mengatakan penuh keyakinan sedang Arga tersenyum menang. Dia meremas tangan kanan yang sedari tadi tersembunyi di bawah meja. Merasakan getaran kemenangan yang menantinya. "Ayah, kamu harus merasakannya."

****

Arga tengah membaca pesan Kia. Terhitung sejak Sabtu dia mengabaikan dan hanya menjawab seperlunya. Beralasan sibuk juga bertemu rekan lama. Sejatinya hanya ingin menghindar. Tak ingin cinta yang berusaha dipadamkan mulai tumbuh kembali. Walau nyatanya tak semudah itu. Ada kalanya, dia mengintip layar hanya untuk melihat pesan. Dan saat membaca, getaran halus itu masih terasa. Bagaimanapun dia lelaki kesepian. Mendapatkan perhatian siapa yang tidak luluh juga?

Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran SesalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang