Hari demi hari melesat begitu cepat. Arga masih sering datang ke rumah kedua kakak beradik itu, walau belum ada jawaban. Tentu dia paham. Ada begitu banyak yang dipikirkan oleh Damar. Apalagi tawaran mengharuskan untuk ikut ke rumahnya. Demi pendidikan yang lebih baik.
Dia tak mempermasalahkan karena yakin Damar akan menerima. Cepat atau lambat. Walau belum tahu kapan. Yang bisa dilakukan sekarang hanya menunjukkan ketulusan jika tidak ada niatan untuk memanfaatkan.
***
Arga keluar dari mobil, berjalan dengan ragu walau bangunan di hadapannya menyambut ramah. Begitu melewati ambang pintu, petugas menyapa dan menanyakan maksud kedatangan. Bukan basa-basi karena memang sudah tugasnya. Setelah mengetahui, lelaki yang memakai seragam itu memberi tahu untuk mengisi formulir kunjungan.
Beberapa menit setelah formulirnya diproses, barulah dia berjalan menuju pintu porter. Petugas yang lain sudah menunggu dan memintanya meninggalkan barang-barang. Tak lupa memberi kartu kunjungan.
Setelah semua selesai, petugas yang lain mengantarnya ke sebuah ruangan. Hanya menunggu beberapa saat sampai ayahnya datang dan duduk di hadapan.
Arga sedikit syok melihat perubahan wajah ayahnya. Sedikit tirus juga kurus. Rambutnya juga berantakan.
Artha diam, tidak menduga jika yang datang adalah anak lelakinya.
"Apa kabar, Ayah?" Arga memulai percakapan. Bola matanya terus memindai. Rasa iba menyelusup datang.
"Untuk apa kamu datang?" Artha mengalihkan pandangan. Dadanya bergemuruh hebat.
Arga masih saja diam. Dia hanya memperhatikan lelaki di hadapannya yang memperlihatkan kekesalannya.
"Hebat! Kamu berhasil menghancurkanku. Gak sia-sia aku membesarkanmu."
Arga menunduk seraya menghela napas dalam.
"Apa kamu puas sekarang?" Artha justru kembali menyerang. Dia menyandarkan punggung dengan senyum sinis. Siapa lagi yang bisa dijadikan tersangka atas kasus yang menimpanya sekarang? Tentu anak lelakinya yang sedari awal sudah menabuh genderang perang.
Arga sudah menduga jika ayahnya mengira dialah penyebab semua kekacauan hidup. Salahnya juga saat bertemu di Lelio justru mengibarkan bendera perang. Alih-alih berdamai dengan masa lalu terlepas dari siapa yang menumbalkan Aksa. Ditambah setelah yang dilakukan di rumah tempo hari. Memang ada orang lain yang bisa dijadikan tersangka kecuali dirinya? "Kenapa Ayah menyalahkan orang lain untuk kesalahan yang diperbuat sendiri." Dia tetap tenang. Tentu karena itu bukan salahnya.
"Aku yakin kamu sudah merencanakan semua ini. Bukankah itu yang kamu katakan tempo hari?" Artha kesal, terlihat dari rahangnya yang mengeras. Sorotnya juga begitu berbeda. Api permusuhan yang dulu tidak pernah menyala, kini berkobar.
"Jadi apa Ayah juga sudah merencanakan untuk pergi meninggalkan Ibu?" Pandangan Arga kini tertuju pada ayahnya. Sama seperti ayahnya, dia juga ingin tahu kejujuran semua cerita. Apakah kesengajaan atau hanya keisengan yang menjadi kebablasan.
"Kita sedang gak membicarakan sesuatu yang sudah berlalu, Ga!" Artha menggebrak meja hingga petugas mendekat.
"Apa sejak awal Ayah juga meragukan Aksa?"
Mendengar kata Aksa, wajah Artha berubah sendu. Disandarkan punggung ke kursi lagi, setelah sebelumnya merapatkan tubuh saat terbawa emosi. Ditutup wajah dengan salah satu tangan dan isakan kecil keluar. "Apa kamu percaya jika aku mengatakan gak?"
"Jadi apa Ayah juga percaya, jika aku juga mengatakan gak?"
Artha tertawa kecil. Sampai di sini dia masih belum bisa meyakini ucapan anak lelakinya. "Lalu untuk apa kamu harus datang di setiap sidang? Bukankah kamu ingin menertawakanku, ha? Karena akhirnya aku hancur. Itukan rencanamu? Membalas dendam untuk Aksa? Karena sudah meragukan Ibumu juga Aksa." Artha terus saja mencecar. Tangannya kini sudah kembali di atas meja pemisah antara dirinya dengan Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arga ; Repihan Rasa TAMAT (sekuel Arga; Pusaran Sesal
RomantizmSeri kedua Arga ; pusaran sesal Tentang cinta yang salah menyapa, rindu pada yang telah pergi juga dendam yang tak seharusnya tumbuh. Setelah kematian Aksa. Arga menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa sakit akibat kehilangan dengan bekerja. Hingga...